8:10 PM -
No comments
MEMBERDAYAKAN KOMITE SEKOLAH UNTUK MENINGKATKAN MUTU LAYANAN PENDIDIKAN
MEMBERDAYAKAN
KOMITE SEKOLAH
UNTUK
MENINGKATKAN MUTU LAYANAN PENDIDIKAN
Oleh
: Andang Masnur, S.Pd
(Guru
SDN Anggoro Kec. Abuki Kab. Konawe, Sulawesi Tenggara)
ABSTRAK
:
Starting from the School Based Management (MBS) as
the implementation of a concept of local autonomy and school autonomy,
community participation is needed in the implementation of education today.
Along with this was born the laws and regulations that provide a clear legal
power to regulate it. One is the Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No.
044/U/2002 dated 2 April 2002 on the establishment of the Board of Education
and the School Committee . In this case the School Committee is an independent
body that embodies the role of the community in order to improve quality,
equity, and efficiency management, better education on education, pre schools,
education track or path outside of school education. From the definition and
elaboration of laws and other rules of the society in this regard the Committee
as legal container should be able to be empowered in terms of improving the
quality of educational services at the unit level. Various things into
consideration then, empowering school committees can be reached by 1.
Institutional strengthening school committees; 2. Improved organizational
ability of the school committee, and 3. Improved insight into the educational
committee of the school committee.
Keyword :
School Committee, Quality of Education Services
Pendahuluan
Dengan berlakunya UU No.
22 tahun 1999, tentang Otonomi Daerah yang digantikan dengan UU No. 32/2004
tentang Pemerintah daerah memberikan kewenangan yang luas terhadap daerah untuk
mengelola berbagai hal termasuk pengelolaan pendidikan. Undang-undang ini juga
merupakan satu jawaban atas praktek sentralisasi yang terakumulasi menjadi satu
bentuk birokrasi terpusat dan terkesan tidak mempedulikan sumber daya
pendukungnya.
Berdasarkan undang-undang
tersebut, tujuan penyelenggaraan pendidikan adalah untuk memberdayakan
masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran serta
masyarakat, termasuk dalam meningkatkan sumber dana dalam penyelenggaraan
pendidikan. Peran serta masyarakat dalam pendidikan dapat dilakukan oleh
perorangan, kelompok, atau pun lembaga pendidikan (Jalal dan Supriyadi, 2001).
Konsekwensi logis dari
Undang-Undang dan peraturan pemerintah tersebut adalah bahwa manajemen
pendidikan harus disesuaikan dengan jiwa dan semangat otonomi. Maka lahirlah
konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Esensinya adalah otonomi sekolah yang
disertai pengambilan keputusan partipatif. Menurut David (2003) dalam Isola Pos Online mengatakan pengambilan
keputusan partisipatif merupakan cara untuk mengambil keputusan melalui
penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratik, dimana warga sekolah (guru,
siswa, karyawan, orang tua siswa, tokoh masyarakat) didorong untuk terlibat
secara langsung dalam proses pengambilan keputusan yang akan dapat memberikan
kontribusi terhadap pencapaian tujuan sekolah.
Peran serta masyarakat
dalam dunia pendidikan dipertegas dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional Nomor 20 tahun 2003 pada Pasal 8 yang menyebutkan bahwa masyarakat
berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi
program pendidikan, serta pada pasal 9 ditegaskan bahwa masyarakat berkewajiban
memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan. Dengan
demikian dapat dikemukakan bahwa otonomi daerah yang melahirkan otonomi sekolah
didukung oleh peran serta masyarakat secara langsung melalui media dan wadah
yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan otonomi di bidang pendidikan serta umum.
Oleh karena itu, untuk
meningkatkan peran serta masyarakat dalam bidang pendidikan pada era otonomi
sekolah diperlukan wadah yang dapat mengakomodasi pandangan, aspirasi, dan
menggali potensi masyarakat untuk menjamin demokratisasi, transparansi, dan
akuntabilitas. Salah satu wadah tersebut adalah dewan pendidikan di tingkat
Kabupaten/kota dan Komite Sekolah ditingkat satuan pendidikan.
Dewan pendidikan dan
komite sekolah merupakan implementasi atas amanat rakyat yang telah tertuang
dalam UU nomor 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas)
2000-2004. Amanat rakyat ini selaras dengan kebijakan otonomi daerah, yang
telah memposisikan kabupaten/kota sebagai pemegang kewenangan dan tanggung
jawab dalam penyelenggaraan pendidikan.
Govinda (2000) dalam laporan penelitiannya “School
Autonomy and Efficiency Some Critical Issues and Lessons” menjelaskan bahwa
di Amerika dan Australia, peran serta orangtua dan masyarakat dalam
penyelenggaraan pendidikan sangat tinggi. Hal itu tercermin dalam
pembayaran pajak masyarakat yang dialokasikan pemerintah Negara bagian
untuk pendidikan. Tidak heran jika orangtua dan masyarakat yang diwakili
oleh lembaga-lembaga seperti Dewan Pendidikan (board of education)
di tingkat kabupaten/kota atau komite sekolah (school board) di tingkat
sekolah mempunyai hak gugat yang sangat tinggi dalam menentukan peningkatan
kualitas pendidikan, bahkan mempunyai otoritas yang sangat tinggi pula untuk
ikut memberhentikan guru dan kepala sekolah (Salamuddin, 2005).
Sekitar tahun 1950-an, sekolah-sekolah di Indonesia
dikenal adanya organisasi yang bernama Persatuan Orangtua Murid dan Guru
(POMG). Organisasi ini kemudian dibubarkan karena alasan menghindarkan guru
terlibat dalam masalah pungutan dari wali murid yang membuatnya kehilangan
wibawa. Kemudian pada tahun 1970-an muncul lembaga baru bernama Badan Pembantu
Penyelenggara Pendidikan (BP3) yang perannya seperti POMG yaitu
membicarakan dan membantu pembiayaan proses belajar-mengajar, namun faktanya
pungutan tak pernah hilang. Setelah BP3 bubar, muncul lagi Komite Sekolah
tetapi tradisi dua organisasi pendahulunya tetap lestari.
Persoalan yang diangkat dalam tulisan ini adalah
bagaimana memberdayakan Komite Sekolah untuk berperan optimal dalam
meningkatkan mutu layanan di tingkat satuan pendidikan, dan bagaimana strategi
pemberdayaannya.
Komite
Sekolah
Di Indonesia, penataan peran serta masyarakat dalam
penyelenggaraan pendidikan sebenarnya telah dilembagakan sejak tahun 1992,
yaitu dengan diterbitkannya PP Nomor 39 tahun 1992 tentang Peran serta
Masyarakat dalam Pendidikan Nasional dan Kepmendiknas NO. 044/U/2002, tanggal 2
April 2002 tentang pembentukan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Menteri
Pendidikan Nasional juga mencanangkan “Gerakan Peningkatan Mutu Pendidikan”
pada tanggal 2 Mei 2002. Hakikat ketiga produk pemerintah itu, bahwa peran
serta masyarakat berfungsi untuk ikut memelihara, menumbuhkan, meningkatkan dan
mengembangkan pendidikan nasional dan bertujuan untuk mendayagunakan kemampuan
yang ada pada masyarakat seoptimal mungkin untuk mewujudkan tujuan pendidikan
nasional.
Pengertian Komite Sekolah
Berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional
Nomor 044/U/2002 tanggal 2 April 2002, pengertian Komite Sekolah adalah badan
mandiri yang mewadahi peran serta masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu,
pemerataan, dan efesiensi pengelolaan, pendidikan baik pada pendidikan, pra
sekolah, jalur pendidikan sekolah maupun jalur pendidikan luar sekolah.
Kedudukan dan Sifat
Berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional
Nomor 044/U/2002 tanggal 2 April 2002 menetapkan bahwa kedudukan dan sifat
Komite Sekolah adalah: (a) Komite sekolah berkedudukan disatuan pendidikan. (b)
Komite sekolah dapat terdiri dari satu satuan pendidikan, atau beberapa satuan
pendidikan yang berbeda jenjang tetapi sama, atau beberapa satuan pendidikan
yang berbeda jenjang tetapi berada pada lokasi yang berdekatan, atau
satuan-satuan pendidikan, atau karena pertimbangan lain. (c) Badan ini bersifat
mandiri, tidak mempunyai hubungan hierarkis dengan lembaga pemerintah.
Organisasi
Berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional nomor
044/U/2002 tanggal 2 April 2002 menetapkan keanggotaan komite sekolah terdiri
atas (1) unsur masyarakat dapat berasal dari orang tua /wali peserta didik,
tokoh masyarakat, tokoh pendidikan, wakil alumni, peserta didik; (2) unsur
dewan guru, yayasan/lembaga penyelenggara pendidikan, badan pertimbangan desa,
dapat pula dilibatkan sebagai anggota komite sekolah (maksimal 3 orang).
Anggota komite sekolah sekurang-kurangnya berjumlah 9 orang dan jumlahnya
gasal.
Tujuan Pembentukan Komite Sekolah
Keputusan Menteri Pendidikan Nasional nomor
044/U/2002 tanggal 2 April 2002 menetapkan tujuan dari pembentukan komite
sekolah adalah: (a) Mewadahi dan menyalurkan aspirasi dan prakarsa masyarakat dalam melahirkan kebijakan operasional dan program pendidikan disatuan pendidikan. (b) Meningkatkan tanggung jawab dan peran
serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan disatuan pendidikan. (c) Menciptakan
suasana dan kondidi transparan, akuntabel dan demokratis dalam penyelenggaraan
dan pelayanan pendidikan yang bermutu di satuan pendidikan.
Peran dan Fungsi
Berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional
Nomor 044/U/2002 tanggal 2 April 2002 menetapkan bahwa Komite Sekolah berperan
sebagai: (a) Pemberi pertimbangan (advisor
agency) dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan di satuan
pendidikan. (b) Pendukung (supporting
agency), baik yang berwujud financial, pemikiran maupun tenaga dalam
penyelenggaraan pendidikan disatuan pendidikan. (c) Pengontrol (controlling agency) dalam rangka
transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran pendidikan di
satuan pendidikan. (d) Mediator antara pemerintah (executive) di satuan pendidikan.
Selanjutnya Komite Sekolah memiliki fungsi, beberapa
fungsi yang strategis sebagai berikut: (a) Mendorong tumbuhnya perhatian komite
masyarakat terhadap penyelenggara pendidikan yang bermutu. (b) Melakukan
kerjasama dengan masyarakat (perorangan, organisasi, dunia usaha, dunia
industri) dan pemerintah, berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan yang
bermutu. (c) Menampung dan menganalisis aspirasi, ide, tuntutan, dan berbagai
kebutuhan pendidikan yang diajukan oleh masyarakat. (d) Memberikan masukan,
pertimbangan, dan rekomendasi kepada satuan pendidikan mengenai : (1) Kebijakan
dan program pendidikan (2) RAPBS (3) Criteria
kinerja satuan pendidikan (4) Criteria tenaga kependidikan (5) Hal-hal yang terkait dengan pendidikan.
(e)
Mendorong orang tua dan masyarakat berpartisipasi dalam pendidikan guna
mendukung peningkatan mutu dan pemerataan pendidikan. (f) Menggalang dana
masyarakat dalam rangka pembiayaan penyelenggaraan pendidikan di satuan
pendidikan. (g) Melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap kebijakan, program,
penyelenggaraan, dan keluaran pendidikan disatuan pendidikan.
Dalam konteks otonomi daerah, sekolah diharapkan
lebih bergerak secara mandiri untuk meningkatkan kinerja manajemen
penyelenggaraan pendidikan. Dengan demikian, sekolah perlu memberdayakan masyarakat
melalui Komite Sekolah dengan mengajak bekerja sama memanfaatkan potensi yang
ada, sehingga semua sumber daya berkembang secara maksimal sesuai dengan
kapabilitas masing-masing. Kebersamaan merupakan potensi yang amat vital untuk
membangun masyarakat menciptakan demokratisasi pendidikan. Dengan demikian, pemberdayaan Komite Sekolah
merupakan alternatif pengelolaan sekolah dengan harapan mampu mendorong
terwujudnya mutu pendidikan yang optimal.
Dalam mengaplikasikan manajemen peningkatan mutu berbasis
sekolah adalah suatu model manajemen yang memberi otonomi sekolah. Artinya
kepada sekolah diberikan keleluasan dan partisipasi secara langsung kepada
warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, karyawan) dan masyarakat yang
meliputi orang tua murid, tokoh masyarakat, ilmuwan, pengusaha dan lainnya dapat juga tokoh agama
didaerahnya.
Memberdayakan
Komite Sekolah
Upaya meningkatkan kualitas pendidikan terus-menerus
dilakukan baik secara konvensional maupun inovatif. Hal tersebut lebih terfokus
lagi setelah diamanatkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk
meningkatkan mutu pendidikan pada setiap jenis dan jenjang pendidikan. Dengan
demikian, agar pemberdayaan Komite Sekolah menjadi lebih optimal, maka kepada
pemerintah dan instansi terkait disarankan tentang beberapa hal berikut. (1) Sebaiknya
peran Komite Sekolah dapat disosialisasikan secara komprehensif kepada guru dan
kepala sekolah. Demikian pula sebaliknya, peran kepala sekolah juga perlu
disosialisasikan kepada Komite Sekolah. Tujuannya adalah untuk menghindari
persepsi yang keliru terhadap peran masing-masing dalam penyelenggaraan
pendidikan. Dengan pengetahuan dan pemahaman peran stakeholders (pemangku
kepentingan) yang lebih baik, harapan untuk menumbuhkan sense of belonging (rasa
memiliki) dan sense of trushting menjadi kenyataan. (2) Transparansi dan
akuntabilitas pengelolaan Anggaran Pendapatan Belanja Sekolah (APBS) mutlak
diperlukan untuk membangun kepercayaan masyarakat dan mengeliminasi
(memberantas) praktik-praktik korupsi di sekolah. Dengan demikian berarti
masyarakat akan sepenuhnya memberikan kepercayaan kepada kepemimpinan kepala
sekolah. (3) Eksistensi Komite Sekolah perlu didukung oleh peraturan daerah
(Perda) sehingga aspek legalitas dan mekanisme kontrol semakin kuat. Pembentukan
Komite Sekolah yang memiliki kekuatan hukum akan menumbuhkan sikap
kehati-hatian dalam penyelenggaraan pendidikan. Dengan demikian pelayanan tidak
asal jadi dan pendidikan tidak salah urus. (4) SDM Komite Sekolah perlu
ditingkatkan melalui pelatihan/atau membuat persyaratan pendidikan minimal
untuk menjadi anggota Komite Sekolah. Latar belakang pendidikan yang memadai
membuat pola pikir Komite Sekolah dapat bersinergi dengan kepala sekolah.
Rendahnya tingkat pendidikan dan kurangnya pengetahuan tentang manajemen
pendidikan menjadikan Komite Sekolah sebagai kuda tunggangan atau sebagai
stempel untuk melegalisasi berbagai pungutan yang dapat meresahkan masyarakat. (5)
Pemberdayaan Komite Sekolah akan lebih berhasil jika kepemimpinan kepala
sekolah lebih efektif dan menjadi teladan bagi warga sekolah dan masyarakat.
Karena itu, implementasi Komite Sekolah pada semua jenis dan jenjang satuan
pendidian dasar dan menengah sangat memerlukan figure kepala sekolah yang
mempunyai kapabilitas, kredibilitas dan daya juang yang tinggi berdasarkan
kepemimpinan yang amanah.
Selain hal diatas Ada beberapa hal yang perlu
diperhatiakan Komite Sekolah yang bisa dikaitkan agar Komite Sekolah dapat
mampu diberdayakan secara maksilal. Menurut Dusseldop (dalam Subandiyah, 1989),
menyatakan bahwa kegiatan partisipasi masyarakat didalam meningkatkan perannya terdiri
dari beberapa hal yaitu: (a) Mendatangi pertemuan. (b) Melibatkan diri dalam
diskusi. (c) Melibatkan diri dan berpartisipasi dalam segala aspek organisasi,
misalnya penyelenggaraan pertemuan kelompok, serta memimpin diskusi kelompok.
(d) Membantu untuk memperoleh bantuan tenaga, modal fasilitas, dan kemampuan
mental. (e) Mengambil bagian dalam proses pengambilan keputusan dengan cara
menyatakan pendapat atas berbagai masalah penting, misalnya tujuan
pengalokasian sumber dana, kebijakan yang harus diikuti pimpinan organisasi
dalam hal ini kepala sekolah, pemilihan wakil kelompok, serta penilaian
efektivitas, efisiensi, dan relevansi kegiatan. (f) Memanfaatkan hasil yang
diraih, misalnya berperan dalam pemanfaatan lulusan suatu lembaga pendidikan.
Kendatipun pembentukan untuk menjalankan empat peran
di atas (pemberi pertimbangan, pendukung, pengontrol, mediator), namun masih
banyak komite sekolah yang belum sepenuhnya berperan sesuai harapan. Kondisi
umum yang ditemui dilapangan adalah bahwa Komite Sekolah masih dipersepsikan
sebagai lembaga sekolah yang fungsinya terbatas pada pengumpulan dana
pendidikan dari orang tua siswa saja. Peran dan fungsi pengurus komite sekolah
belum optimal, belum melakukan pengelolaan keuangan yang menjadi kewenangannya
padahal dalam kepengurusan dibentuk bendahara komite. Selain itu, satu fungsi
komite sekolah yang melakukan kontrol sosial dan transparansi anggaran serta
akuntabilitas penggunaan anggaran terhadap proyek-proyek rehabilitasi dan
pembangunan gedung sekolah baru justru hanya dikelola dan diketahui sekolah
(kepala sekolah) tanpa melibatkan komite sekolah. Hal ini dapat diakibatkan
karena tidak dilibatkannya komite sekolah dalam proses pembangunan dan
penyususnan RAPBS sehingga hubungan.
Strategi
Pemberdayaan
Melihat kondisi dan keprihatinan terhadap kualitas
pendidikan dengan tidak optimalnya peran komite sekolah, maka perlu berbagai
strategi untuk melakukanpemberdayaan komite sekolah. Bentuk pemberdayaan komite
sekolah dapat dilakukan dengan cara: (1) Pemberdayaan komite sekolah dilakukan
secara bottom up oleh Dewan Pendidikan Kabupaten/Kota. Oleh karena itu,
setiap Dewan Pendidikan Kabupaten/Kota harus memiliki tenaga fasilitator yang
mempunyai tugas untuk melakukan pendampingan kepada Komite Sekolah. Kegiatan
pendampingan ini dikoordinasikan oleh fasilitator dari Dewan Pendidikan
Propinsi. Konsep pemberdayaan komite sekolah ini merupakan peningkatan dari
kegiatan sosialisasi yang biasanya telah dilakukan oleh Dewan Pendidikan Kabupaten/Kota
selama ini. (2) Untuk menghasilkan fasilitator pemberdayaan komite sekolah
sebagaimana dihrapkan, perlu diadakan TOT (training of trainer) fasilitator
pemberdayaan komite sekolah, yang diikuti oleh calon-calon fasilitator yang
dikirimkan oleh Dewan Pendidikan Kabupaten/Kota dan Propinsi. Melalui kegiatan
TOT pemberdayaan komite sekolah ini, para peserta diharapkan dapat menjadi fasilitator
pemberdayaan komite sekolah dengan tugas antara lain: 1) memberikan fasilitas
komite sekolah khususnya dalam proses pembentukan komite sekolah, 2) memberikan
pendampingan dalam merumuskan program dan kegiatan komite sekolah selaras
dengan peran dan fungsi komite sekolah, 3) membentuk Komite Sekolah Inti (KSIN)
dan Komite sekolah Imbas (KSIM), 4) membangun forum komunikasi komite sekolah
di daerah Kabupaten/Kota dan 5) memberikan fasilitas untuk menjalin sekaligus
memperbaiki hubungan yang tidak harmonis antara komite sekolah dengan pihak
sekolah, serta Dunia Usaha dan Industri. Ketiga, kegiatan TOT tersebut
memerlukan bahan atau materi pemberdayaan komite sekolah sehingga perlu disusun
beberapa modul pemberdayaan komite sekolah yang bukan hanya akan diberikan
sebagai materi yang akan diberikan dalam kegiatan TOT, tetapi akan menjadi
bekal dasar yang akan digunakan oleh fasilitator untuk melaksanakan tugasnya di
lapangan.
Sudah tentu program pemberdayaan komite sekolah
dapat dinilai berhasil jika telah tercapai beberapa indikator, misalnya proses
pembentukan komite sekolah di masa depan tidak lagi dilakukan secara instant,
melainkan melalui proses dan mekanisme yang demokratis, transparan dan
akuntabel; proses pembentukan Dewan Pendidikan Kabupaten/Kota dan Propinsi
secara tidak langsung juga terlaksana secara demokratis, transparan dan
akuntabel; jika ada masalah antara sekolah dan komite sekolah dapat
diselesaikan secara mandiri oleh Tim Fasilitator atau setidaknyadiselesaikan di
tingkat Dewan Pendidikan Kabupaten/Kota; secara bertahap agar komite sekolah
segera melaksanakan peran dan fungsinya secara optimal untuk meningkatkan mutu
layanan pendidikan di sekolah masing-masing.
Simpulan
Dengan banyaknya tuntutan
perundang-undangan dan aturan pemerintah yang banyak mengatur tentang peran
serta masyarakat dalam hal pelaksanaan pendidikan, maka wajiblah hukumnya untuk
lebih mengoptimalkan peran serta masyarakat. Dalam hal ini komite sekolah
sebagai wadah yang berkekuatan hukum jelas untuk mengawal serta turut
meningkatkan mutu pelayanan disekolah.
Akhirnya dapat dikatakan bahwa untuk meningkatkan
mutu layanan pendidikan di tingkat satuan pendidikan, pemberdayaan komite
sekolah dapat dilakukan melalui tiga jalur secara simpulkan, yaitu: (1) Penguatan
kelembagaan komite sekolah; (2) Peningkatan kemampuan organisasi komite
sekolah; dan (3) Peningkatan wawasan kependidikan pengurus komite sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
Atmodiwirio,
Soebagio. 2000. Manajemen Pendidikan
Indonesia. Jakarta: PT.
Ardazya Jaya
Awang,
Sang Afri, dkk, 1995. Program IDT dan
Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta: Aditya Media.
Depdikbud,
1999. Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Dareah.
Depdikbud,
2002 a. Himpunan Peraturan
Perundang-Undangan Bidang Kependidikan Tahun 2002. Jakarta: CV. Novindo Pustaka
Mandiri.
Depdikbud,
2002 b. School Reform Seri 01 Pedoman
Pengembangan Kultur Sekolah.
Dekdikbud, 2002 c. School Reform Seri 02 Pedoman Pengembangan Manajemen Sekolah.
Depdikbud,
2002 d. School Reform Seri 03. Pedoman
Membangun Hubungan Sekolah dengan Masyarakat.
Nurkolis. 2003. Manajemen Berbasis
Sekolah, Jakarta: Grasindo.
Pidarta, Made.
1997. Landasan Kependidikan, Jakarta:
Rineka Cipta
0 comments:
Post a Comment