Saturday, February 15, 2014

8:10 PM - No comments

MEMBERDAYAKAN KOMITE SEKOLAH UNTUK MENINGKATKAN MUTU LAYANAN PENDIDIKAN



MEMBERDAYAKAN KOMITE SEKOLAH
UNTUK MENINGKATKAN MUTU LAYANAN PENDIDIKAN

Oleh : Andang Masnur, S.Pd
(Guru SDN Anggoro Kec. Abuki Kab. Konawe, Sulawesi Tenggara)


ABSTRAK :
Starting from the School Based Management (MBS) as the implementation of a concept of local autonomy and school autonomy, community participation is needed in the implementation of education today. Along with this was born the laws and regulations that provide a clear legal power to regulate it. One is the Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 044/U/2002 dated 2 April 2002 on the establishment of the Board of Education and the School Committee . In this case the School Committee is an independent body that embodies the role of the community in order to improve quality, equity, and efficiency management, better education on education, pre schools, education track or path outside of school education. From the definition and elaboration of laws and other rules of the society in this regard the Committee as legal container should be able to be empowered in terms of improving the quality of educational services at the unit level. Various things into consideration then, empowering school committees can be reached by 1. Institutional strengthening school committees; 2. Improved organizational ability of the school committee, and 3. Improved insight into the educational committee of the school committee.

Keyword : School Committee, Quality of Education Services



Pendahuluan
Dengan berlakunya UU No. 22 tahun 1999, tentang Otonomi Daerah yang digantikan dengan UU No. 32/2004 tentang Pemerintah daerah memberikan kewenangan yang luas terhadap daerah untuk mengelola berbagai hal termasuk pengelolaan pendidikan. Undang-undang ini juga merupakan satu jawaban atas praktek sentralisasi yang terakumulasi menjadi satu bentuk birokrasi terpusat dan terkesan tidak mempedulikan sumber daya pendukungnya.
Berdasarkan undang-undang tersebut, tujuan penyelenggaraan pendidikan adalah untuk memberdayakan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran serta masyarakat, termasuk dalam meningkatkan sumber dana dalam penyelenggaraan pendidikan. Peran serta masyarakat dalam pendidikan dapat dilakukan oleh perorangan, kelompok, atau pun lembaga pendidikan  (Jalal dan Supriyadi, 2001).
Konsekwensi logis dari Undang-Undang dan peraturan pemerintah tersebut adalah bahwa manajemen pendidikan harus disesuaikan dengan jiwa dan semangat otonomi. Maka lahirlah konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Esensinya adalah otonomi sekolah yang disertai pengambilan keputusan partipatif. Menurut David (2003) dalam Isola Pos Online mengatakan pengambilan keputusan partisipatif merupakan cara untuk mengambil keputusan melalui penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratik, dimana warga sekolah (guru, siswa, karyawan, orang tua siswa, tokoh masyarakat) didorong untuk terlibat secara langsung dalam proses pengambilan keputusan yang akan dapat memberikan kontribusi terhadap pencapaian tujuan sekolah.
Peran serta masyarakat dalam dunia pendidikan dipertegas dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 pada Pasal 8 yang menyebutkan bahwa masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan, serta pada pasal 9 ditegaskan bahwa masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa otonomi daerah yang melahirkan otonomi sekolah didukung oleh peran serta masyarakat secara langsung melalui media dan wadah yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan otonomi di bidang pendidikan serta umum.
Oleh karena itu, untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam bidang pendidikan pada era otonomi sekolah diperlukan wadah yang dapat mengakomodasi pandangan, aspirasi, dan menggali potensi masyarakat untuk menjamin demokratisasi, transparansi, dan akuntabilitas. Salah satu wadah tersebut adalah dewan pendidikan di tingkat Kabupaten/kota dan Komite Sekolah ditingkat satuan pendidikan.
Dewan pendidikan dan komite sekolah merupakan implementasi atas amanat rakyat yang telah tertuang dalam UU nomor 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) 2000-2004. Amanat rakyat ini selaras dengan kebijakan otonomi daerah, yang telah memposisikan kabupaten/kota sebagai pemegang kewenangan dan tanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan.
Govinda (2000) dalam laporan penelitiannya “School Autonomy and Efficiency Some Critical Issues and Lessons” menjelaskan bahwa di Amerika dan Australia, peran serta orangtua dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan sangat tinggi. Hal itu tercermin dalam pembayaran pajak masyarakat yang dialokasikan pemerintah Negara bagian untuk pendidikan. Tidak heran jika orangtua dan masyarakat yang diwakili oleh lembaga-lembaga seperti Dewan Pendidikan (board of education) di tingkat kabupaten/kota atau komite sekolah (school board) di tingkat sekolah mempunyai hak gugat yang sangat tinggi dalam menentukan peningkatan kualitas pendidikan, bahkan mempunyai otoritas yang sangat tinggi pula untuk ikut memberhentikan guru dan kepala sekolah (Salamuddin, 2005).
Sekitar tahun 1950-an, sekolah-sekolah di Indonesia dikenal adanya organisasi yang bernama Persatuan Orangtua Murid dan Guru (POMG). Organisasi ini kemudian dibubarkan karena alasan menghindarkan guru terlibat dalam masalah pungutan dari wali murid yang membuatnya kehilangan wibawa. Kemudian pada tahun 1970-an muncul lembaga baru bernama Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan (BP3) yang perannya seperti POMG yaitu membicarakan dan membantu pembiayaan proses belajar-mengajar, namun faktanya pungutan tak pernah hilang. Setelah BP3 bubar, muncul lagi Komite Sekolah tetapi tradisi dua organisasi pendahulunya tetap lestari.
Persoalan yang diangkat dalam tulisan ini adalah bagaimana memberdayakan Komite Sekolah untuk berperan optimal dalam meningkatkan mutu layanan di tingkat satuan pendidikan, dan bagaimana strategi pemberdayaannya.


Komite Sekolah
Di Indonesia,  penataan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan sebenarnya telah dilembagakan sejak tahun 1992, yaitu dengan diterbitkannya PP Nomor 39 tahun 1992 tentang Peran serta Masyarakat dalam Pendidikan Nasional dan Kepmendiknas NO. 044/U/2002, tanggal 2 April 2002 tentang pembentukan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Menteri Pendidikan Nasional juga mencanangkan “Gerakan Peningkatan Mutu Pendidikan” pada tanggal 2 Mei 2002. Hakikat ketiga produk pemerintah itu, bahwa peran serta masyarakat berfungsi untuk ikut memelihara, menumbuhkan, meningkatkan dan mengembangkan pendidikan nasional dan bertujuan untuk mendayagunakan kemampuan yang ada pada masyarakat seoptimal mungkin untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.

Pengertian Komite Sekolah
Berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 044/U/2002 tanggal 2 April 2002, pengertian Komite Sekolah adalah badan mandiri yang mewadahi peran serta masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu, pemerataan, dan efesiensi pengelolaan, pendidikan baik pada pendidikan, pra sekolah, jalur pendidikan sekolah maupun jalur pendidikan luar sekolah.

Kedudukan dan Sifat
Berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 044/U/2002 tanggal 2 April 2002 menetapkan bahwa kedudukan dan sifat Komite Sekolah adalah: (a) Komite sekolah berkedudukan disatuan pendidikan. (b) Komite sekolah dapat terdiri dari satu satuan pendidikan, atau beberapa satuan pendidikan yang berbeda jenjang tetapi sama, atau beberapa satuan pendidikan yang berbeda jenjang tetapi berada pada lokasi yang berdekatan, atau satuan-satuan pendidikan, atau karena pertimbangan lain. (c) Badan ini bersifat mandiri, tidak mempunyai hubungan hierarkis dengan lembaga pemerintah.

Organisasi
Berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional nomor 044/U/2002 tanggal 2 April 2002 menetapkan keanggotaan komite sekolah terdiri atas (1) unsur masyarakat dapat berasal dari orang tua /wali peserta didik, tokoh masyarakat, tokoh pendidikan, wakil alumni, peserta didik; (2) unsur dewan guru, yayasan/lembaga penyelenggara pendidikan, badan pertimbangan desa, dapat pula dilibatkan sebagai anggota komite sekolah (maksimal 3 orang). Anggota komite sekolah sekurang-kurangnya berjumlah 9 orang dan jumlahnya gasal.

Tujuan Pembentukan Komite Sekolah
Keputusan Menteri Pendidikan Nasional nomor 044/U/2002 tanggal 2 April 2002 menetapkan tujuan dari pembentukan komite sekolah adalah: (a) Mewadahi dan menyalurkan aspirasi dan prakarsa masyarakat   dalam   melahirkan kebijakan operasional  dan program pendidikan   disatuan    pendidikan.    (b) Meningkatkan tanggung jawab dan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan disatuan pendidikan. (c) Menciptakan suasana dan kondidi transparan, akuntabel dan demokratis dalam penyelenggaraan dan pelayanan pendidikan yang bermutu di satuan pendidikan.

Peran dan Fungsi
Berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 044/U/2002 tanggal 2 April 2002 menetapkan bahwa Komite Sekolah berperan sebagai: (a) Pemberi pertimbangan (advisor agency) dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan di satuan pendidikan. (b) Pendukung (supporting agency), baik yang berwujud financial, pemikiran maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan disatuan pendidikan. (c) Pengontrol (controlling agency) dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran pendidikan di satuan pendidikan. (d) Mediator antara pemerintah (executive) di satuan pendidikan.
Selanjutnya Komite Sekolah memiliki fungsi, beberapa fungsi yang strategis sebagai berikut: (a) Mendorong tumbuhnya perhatian komite masyarakat terhadap penyelenggara pendidikan yang bermutu. (b) Melakukan kerjasama dengan masyarakat (perorangan, organisasi, dunia usaha, dunia industri) dan pemerintah, berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan yang bermutu. (c) Menampung dan menganalisis aspirasi, ide, tuntutan, dan berbagai kebutuhan pendidikan yang diajukan oleh masyarakat. (d) Memberikan masukan, pertimbangan, dan rekomendasi kepada satuan pendidikan mengenai : (1) Kebijakan dan program pendidikan  (2) RAPBS (3) Criteria kinerja satuan pendidikan (4) Criteria tenaga kependidikan  (5) Hal-hal yang terkait dengan pendidikan.
(e) Mendorong orang tua dan masyarakat berpartisipasi dalam pendidikan guna mendukung peningkatan mutu dan pemerataan pendidikan. (f) Menggalang dana masyarakat dalam rangka pembiayaan penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan. (g) Melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap kebijakan, program, penyelenggaraan, dan keluaran pendidikan disatuan pendidikan.
Dalam konteks otonomi daerah, sekolah diharapkan lebih bergerak secara mandiri untuk meningkatkan kinerja manajemen penyelenggaraan pendidikan. Dengan demikian, sekolah perlu memberdayakan masyarakat melalui Komite Sekolah dengan mengajak bekerja sama memanfaatkan potensi yang ada, sehingga semua sumber daya berkembang secara maksimal sesuai dengan kapabilitas masing-masing. Kebersamaan merupakan potensi yang amat vital untuk membangun masyarakat menciptakan demokratisasi pendidikan. Dengan  demikian, pemberdayaan Komite Sekolah merupakan alternatif pengelolaan sekolah dengan harapan mampu mendorong terwujudnya mutu pendidikan yang optimal.
Dalam mengaplikasikan manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah adalah suatu model manajemen yang memberi otonomi sekolah. Artinya kepada sekolah diberikan keleluasan dan partisipasi secara langsung kepada warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, karyawan) dan masyarakat yang meliputi orang tua murid, tokoh masyarakat, ilmuwan,  pengusaha dan lainnya dapat juga tokoh agama didaerahnya.

Memberdayakan Komite Sekolah
Upaya meningkatkan kualitas pendidikan terus-menerus dilakukan baik secara konvensional maupun inovatif. Hal tersebut lebih terfokus lagi setelah diamanatkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan pada setiap jenis dan jenjang pendidikan. Dengan demikian, agar pemberdayaan Komite Sekolah menjadi lebih optimal, maka kepada pemerintah dan instansi terkait disarankan tentang beberapa hal berikut. (1) Sebaiknya peran Komite Sekolah dapat disosialisasikan secara komprehensif kepada guru dan kepala sekolah. Demikian pula sebaliknya, peran kepala sekolah juga perlu disosialisasikan kepada Komite Sekolah. Tujuannya adalah untuk menghindari persepsi yang keliru terhadap peran masing-masing dalam penyelenggaraan pendidikan. Dengan pengetahuan dan pemahaman peran stakeholders (pemangku kepentingan) yang lebih baik, harapan untuk menumbuhkan sense of belonging (rasa memiliki) dan sense of trushting menjadi kenyataan. (2) Transparansi dan akuntabilitas pengelolaan Anggaran Pendapatan Belanja Sekolah (APBS) mutlak diperlukan untuk membangun kepercayaan masyarakat dan mengeliminasi (memberantas) praktik-praktik korupsi di sekolah. Dengan demikian berarti masyarakat akan sepenuhnya memberikan kepercayaan kepada kepemimpinan kepala sekolah. (3) Eksistensi Komite Sekolah perlu didukung oleh peraturan daerah (Perda) sehingga aspek legalitas dan mekanisme kontrol semakin kuat. Pembentukan Komite Sekolah yang memiliki kekuatan hukum akan menumbuhkan sikap kehati-hatian dalam penyelenggaraan pendidikan. Dengan demikian pelayanan tidak asal jadi dan pendidikan tidak salah urus. (4) SDM Komite Sekolah perlu ditingkatkan melalui pelatihan/atau membuat persyaratan pendidikan minimal untuk menjadi anggota Komite Sekolah. Latar belakang pendidikan yang memadai membuat pola pikir Komite Sekolah dapat bersinergi dengan kepala sekolah. Rendahnya tingkat pendidikan dan kurangnya pengetahuan tentang manajemen pendidikan menjadikan Komite Sekolah sebagai kuda tunggangan atau sebagai stempel untuk melegalisasi berbagai pungutan yang dapat meresahkan masyarakat. (5) Pemberdayaan Komite Sekolah akan lebih berhasil jika kepemimpinan kepala sekolah lebih efektif dan menjadi teladan bagi warga sekolah dan masyarakat. Karena itu, implementasi Komite Sekolah pada semua jenis dan jenjang satuan pendidian dasar dan menengah sangat memerlukan figure kepala sekolah yang mempunyai kapabilitas, kredibilitas dan daya juang yang tinggi berdasarkan kepemimpinan yang amanah.
Selain hal diatas Ada beberapa hal yang perlu diperhatiakan Komite Sekolah yang bisa dikaitkan agar Komite Sekolah dapat mampu diberdayakan secara maksilal. Menurut Dusseldop (dalam Subandiyah, 1989), menyatakan bahwa kegiatan partisipasi masyarakat didalam meningkatkan perannya terdiri dari beberapa hal yaitu: (a) Mendatangi pertemuan. (b) Melibatkan diri dalam diskusi. (c) Melibatkan diri dan berpartisipasi dalam segala aspek organisasi, misalnya penyelenggaraan pertemuan kelompok, serta memimpin diskusi kelompok. (d) Membantu untuk memperoleh bantuan tenaga, modal fasilitas, dan kemampuan mental. (e) Mengambil bagian dalam proses pengambilan keputusan dengan cara menyatakan pendapat atas berbagai masalah penting, misalnya tujuan pengalokasian sumber dana, kebijakan yang harus diikuti pimpinan organisasi dalam hal ini kepala sekolah, pemilihan wakil kelompok, serta penilaian efektivitas, efisiensi, dan relevansi kegiatan. (f) Memanfaatkan hasil yang diraih, misalnya berperan dalam pemanfaatan lulusan suatu lembaga pendidikan.
Kendatipun pembentukan untuk menjalankan empat peran di atas (pemberi pertimbangan, pendukung, pengontrol, mediator), namun masih banyak komite sekolah yang belum sepenuhnya berperan sesuai harapan. Kondisi umum yang ditemui dilapangan adalah bahwa Komite Sekolah masih dipersepsikan sebagai lembaga sekolah yang fungsinya terbatas pada pengumpulan dana pendidikan dari orang tua siswa saja. Peran dan fungsi pengurus komite sekolah belum optimal, belum melakukan pengelolaan keuangan yang menjadi kewenangannya padahal dalam kepengurusan dibentuk bendahara komite. Selain itu, satu fungsi komite sekolah yang melakukan kontrol sosial dan transparansi anggaran serta akuntabilitas penggunaan anggaran terhadap proyek-proyek rehabilitasi dan pembangunan gedung sekolah baru justru hanya dikelola dan diketahui sekolah (kepala sekolah) tanpa melibatkan komite sekolah. Hal ini dapat diakibatkan karena tidak dilibatkannya komite sekolah dalam proses pembangunan dan penyususnan RAPBS sehingga hubungan.

Strategi Pemberdayaan
Melihat kondisi dan keprihatinan terhadap kualitas pendidikan dengan tidak optimalnya peran komite sekolah, maka perlu berbagai strategi untuk melakukanpemberdayaan komite sekolah. Bentuk pemberdayaan komite sekolah dapat dilakukan dengan cara: (1) Pemberdayaan komite sekolah dilakukan secara bottom up oleh Dewan Pendidikan Kabupaten/Kota. Oleh karena itu, setiap Dewan Pendidikan Kabupaten/Kota harus memiliki tenaga fasilitator yang mempunyai tugas untuk melakukan pendampingan kepada Komite Sekolah. Kegiatan pendampingan ini dikoordinasikan oleh fasilitator dari Dewan Pendidikan Propinsi. Konsep pemberdayaan komite sekolah ini merupakan peningkatan dari kegiatan sosialisasi yang biasanya telah dilakukan oleh Dewan Pendidikan Kabupaten/Kota selama ini. (2) Untuk menghasilkan fasilitator pemberdayaan komite sekolah sebagaimana dihrapkan, perlu diadakan TOT (training of trainer) fasilitator pemberdayaan komite sekolah, yang diikuti oleh calon-calon fasilitator yang dikirimkan oleh Dewan Pendidikan Kabupaten/Kota dan Propinsi. Melalui kegiatan TOT pemberdayaan komite sekolah ini, para peserta diharapkan dapat menjadi fasilitator pemberdayaan komite sekolah dengan tugas antara lain: 1) memberikan fasilitas komite sekolah khususnya dalam proses pembentukan komite sekolah, 2) memberikan pendampingan dalam merumuskan program dan kegiatan komite sekolah selaras dengan peran dan fungsi komite sekolah, 3) membentuk Komite Sekolah Inti (KSIN) dan Komite sekolah Imbas (KSIM), 4) membangun forum komunikasi komite sekolah di daerah Kabupaten/Kota dan 5) memberikan fasilitas untuk menjalin sekaligus memperbaiki hubungan yang tidak harmonis antara komite sekolah dengan pihak sekolah, serta Dunia Usaha dan Industri. Ketiga, kegiatan TOT tersebut memerlukan bahan atau materi pemberdayaan komite sekolah sehingga perlu disusun beberapa modul pemberdayaan komite sekolah yang bukan hanya akan diberikan sebagai materi yang akan diberikan dalam kegiatan TOT, tetapi akan menjadi bekal dasar yang akan digunakan oleh fasilitator untuk melaksanakan tugasnya di lapangan.
Sudah tentu program pemberdayaan komite sekolah dapat dinilai berhasil jika telah tercapai beberapa indikator, misalnya proses pembentukan komite sekolah di masa depan tidak lagi dilakukan secara instant, melainkan melalui proses dan mekanisme yang demokratis, transparan dan akuntabel; proses pembentukan Dewan Pendidikan Kabupaten/Kota dan Propinsi secara tidak langsung juga terlaksana secara demokratis, transparan dan akuntabel; jika ada masalah antara sekolah dan komite sekolah dapat diselesaikan secara mandiri oleh Tim Fasilitator atau setidaknyadiselesaikan di tingkat Dewan Pendidikan Kabupaten/Kota; secara bertahap agar komite sekolah segera melaksanakan peran dan fungsinya secara optimal untuk meningkatkan mutu layanan pendidikan di sekolah masing-masing.

Simpulan
Dengan banyaknya tuntutan perundang-undangan dan aturan pemerintah yang banyak mengatur tentang peran serta masyarakat dalam hal pelaksanaan pendidikan, maka wajiblah hukumnya untuk lebih mengoptimalkan peran serta masyarakat. Dalam hal ini komite sekolah sebagai wadah yang berkekuatan hukum jelas untuk mengawal serta turut meningkatkan mutu pelayanan disekolah.
Akhirnya dapat dikatakan bahwa untuk meningkatkan mutu layanan pendidikan di tingkat satuan pendidikan, pemberdayaan komite sekolah dapat dilakukan melalui tiga jalur secara simpulkan, yaitu: (1) Penguatan kelembagaan komite sekolah; (2) Peningkatan kemampuan organisasi komite sekolah; dan (3) Peningkatan wawasan kependidikan pengurus komite sekolah.





DAFTAR PUSTAKA
Atmodiwirio, Soebagio. 2000. Manajemen Pendidikan Indonesia. Jakarta:   PT. Ardazya Jaya
Awang, Sang Afri, dkk, 1995. Program IDT dan Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta: Aditya Media.
Depdikbud, 1999. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Dareah.
Depdikbud, 2002 a. Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Bidang Kependidikan Tahun  2002. Jakarta: CV. Novindo Pustaka Mandiri.
Depdikbud, 2002 b. School Reform Seri 01 Pedoman Pengembangan Kultur Sekolah.
Dekdikbud, 2002 c. School Reform Seri 02 Pedoman Pengembangan Manajemen Sekolah.
Depdikbud, 2002 d. School Reform Seri 03. Pedoman Membangun Hubungan Sekolah dengan Masyarakat.
Nurkolis. 2003. Manajemen Berbasis Sekolah, Jakarta: Grasindo.

Pidarta, Made. 1997. Landasan Kependidikan, Jakarta: Rineka Cipta

0 comments:

Post a Comment