Tahun
2014 adalah tahun penuh dengan pesta, salah satu dari sekian agenda
pesta yang akan dihelat tahun ini adalah pesta demokrasi pemilihan umum
yaitu Pemilihan Legislatif atau yang lebih lazim dikenal dengan istilah
Pileg. Pemilihan legislatif yang akan digelar tanggal 9 April 2014 ini –
jika tak ada perubahan jadwal oleh penyelenggara – akan
memilih para legislator mulai dari Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia (DPR RI), Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi (DPR Prov.), Dewan
Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota (DPR Kab./Kota) dan Dewan Perwakilan
Daerah (DPD).
Agenda lima tahunan ini adalah salah satu
dari sekian banyak agenda reformasi yang terus dilakukan demi
menciptakan pemerintahan yang demokratis (Pasal 1 ayat 3UU No. 3 tahun
1999 tentang Pemilu). Dimana dengan konsep rakyat yang memilih
langsung/sendiri siapa saja yang mewakili mereka mulai dari level pusat
hingga daerah. Dari konsep tersebut diharapkan kesan pemilu tidak lagi
seperti membeli kucing dalam karung, tetapi masyarakat mempercayakan
suaranya pada mereka kepada yang memang benar-benar dianggap mampu
menjadi legislator di setiap levelnya.
“Wani Piro?”
Ada yang menjadi trend hingga saat ini di tengah masyarakat jelang pemilu. Yaitu kata “wani piro?”,
yang dalam bahasa jawa berarti “berani berapa?” Atau bisa kita artikan
“berani bayar berapa?”. Sepintas ini hanyalah seperti guyonan ringan
oleh masyarakat kala kita bertanya siapa yang mereka akan pilih nantinya
di pesta demokrasi tersebut. Tetapi lagi-lagi hal ini bukanlah hal yang
bisa kita anggap sepele. Mengapa demikian? Sebab guyon tersebut bukan
tidak memiliki dasar. Tetapi jelas bahwa ini mengisyaratkan bahwa
indicator pilihan masyarakat kita sekarang khususnya mereka yang telah
memiliki hak pilih ialah berapa harga suara mereka. Dalam hal ini yang
dimaksudkan jelas adalah berapa rupiah yang akan disediakan oleh para
caleg dalam membeli suara mereka nantinya. Dari segi hukum, jelas ini
adalah salah satu pelanggaran pemilu dimana terjadi suap di dalamnya
(diantaranya pasal 117 ayat 2 UU No. 32 tahun 2004). Tetapi lagi-lagi
saya beranggapan bahwa ini bukan hanya persoalan hukum dan tidak
sesederhana itu saya menilainya. Ada hal yang paling mendasar yang perlu
kita telaah dari sesumbar latah wani piro tersebut. Yang saya maksudkan
adalah bagaimana bobroknya kualitas demokrasi kita saat ini. Sebab yang
saya sebutkan di depan tadi bahwa indikator pemilih kita dalam hal
menentukan pilihannya adalah berapa harga yang sanggup dibayarkan oleh
mereka para caleg. Bukan lagi kualitas atau kemampuan yang dimiliki oleh
caleg yang diperhatikan dalam hal menentukan pemilihan.
Kebiasaan
tersebut tentu akan menghadirkan “siklus politik” yang sangat
memprihatinkan. Dimana para caleg akan mengeluarkan logistik atau dalam
hal ini cost politic yang tentu tidak sedikit. Keadaan ini akan
memungkinkan dan sangat besar akan terjadi, ketika mereka terpilih
nantinya target mereka yang pertama adalah bagaimana mengembalikan cost politik
yang telah mereka keluarkan selama suksesi sebelumnya.Jika sudah
seperti itu, maka politisi kita yang seharusnya menjadi refresentasi
masyarakat dalam menindak segala macam aspirasi tidak akan berjalan
maksimal.Sebab, jika kesibukan mereka kearah yang sifatnya mengembalikan
modal ini,tidak menutup kemungkinan praktek korup lagi-lagi akan
dipertontonkan oleh mereka wakil rakyat.
DPR Harapan Kita
Data dari berbagai sumber yang ada menggambarkan bagaimana praktek korupsi ini dilakukan oleh para legislator kita. Mahalnya cost politik
yang harus mereka keluarkan tadi tentu menjadi salah satu factor yang
menyebabkan mereka melakukan hal tersebut. Kasus penyelewengan anggaran
hingga skandal suap menjadi topic pemberitaan yang menghiasi berbagai
media yang aktornya tak lain adalah mereka para legislator.
Penomena
tersebut tentunya tidak ingin lagi kita saksikan di 5 tahun ke depan.
Sebab kita tidak ingin menyaksikan bangsa kita semakin terpuruk dengan
keadaan korup yang semakin memprihatinkan. Ketertinggalan disegala
bidang dari Negara-negara lain adalah buntut dari budaya korup yang
semakin merajalela.
Harapan kita masih ada, dengan kita
melahirkan legislator-legislator yang bersih. Menciptakan pemilihan
legislative yang berkualitas. Tanpa memilih mereka berdasarkan berapa
banyak uang yang mereka keluarkan untuk membeli suara kita.Tetapi kita
harus berfikir untuk menjadi pemilih cerdas. Yang benar-benar
mempercayakan suara kita kepada mereka yang memang berkompoten dan
benar-benar mampu menjadi wakil kita. Memperjuangkan apa yang menjadi
aspirasi masyarakat umum, bukan kepentingan pribadi atau golongan
tertentu saja. Dan tanpa membebani mereka cost politic yang tinggi, sehingga saat mereka terpilih nantinya, mereka konsen memikirkan kepentingan masyarakat luas.