Friday, June 26, 2020

2:49 AM - No comments

Proporsional Tertutup: antara Oligarki Partai dan Pembatasan Partisipasi

Ilustrasi Pemilihan Sistem Proporsional Tertutup
Ilustrasi Pemilihan Sistem Proporsional Tertutup
(Gbr: Edit dari Tirto.id dan DetikOto) 

Evaluasi sistem pemilu terus dilakukan oleh bangsa ini untuk berbenah ke arah yang lebih baik. Penyusunan regulasi sebagai landasan dan payung hukum dalam melaksanakan perbaikan tersebut terus dilakukan. Draf Undang-Undang Pemilu (RUU) Pemilu juga sedang dalam tahap pembahasan. Sebagai bagian dari perbaikan dan hasil evalusi dari UU Nomor 7 tahun 2017 dan pelaksanaan Pemilu 2019 yang lalu. 

Jika melihat secara detail pasal demi pasal yang disajikan sebagai desain pelaksanaan Pemilu selanjutnya maka salah satu yang berbeda dari beberapa pemilu sebelumnya adalah pada bagian kedua sistem Pemilu anggota DPR Pasal 206 Ayat (1). Dituliskan bahwa “Pemilu untuk memilih Anggota DPR dilaksanakan dengan sistem proporsional tertutup”.

Kilas Balik Sistem Kepemiluan

Melihat sejarah perjalanan sistem kepemiluan yang dilakukan oleh Indonesia memang beberapa kali terjadi perubahan. Khususnya untuk sistem pemilu pada anggota DPR dan DPRD pada zaman orde baru memang menggunakan sistem proporsional tertutup. Yang artinya bahwa pada surat suara yang diterima oleh pemilih di Tempat Pemungutan Suara (TPS) hanya berisi tanda gambar partai. Sistem ini terakhir digunakan pada Pemilu tahun 1999 berdasarkan UU Nomor 3 tahun 1999. 

Kemudian berdasarkan UU Nomor 12 tahun 2003, sistem proporsional terbuka mulai dilakukan. Pada surat suara kita akan mendapati tanda gambar partai dan daftar calon legislatif. Hanya saja penentuan siapa yang akan duduk sebagai anggota legislatif terpilih sesuai dengan nomor urut caleg tersebut. Artinya peluang besar bagi caleg yang akan duduk adalah caleg dengan nomor urut paling atas. Hal tersebut kemudian dievaluasi dan mendapat perubahan pada pemilu tahun 2009, 2014 dan 2019. 

Tiga pemilu terakhir mempraktekkan sistem pemilu proporsional terbuka berdasarkan suara terbanyak. Meskipun memang merupakan tantangan tersendiri terhadap rumitnya rekapitulasi yang dilakukan saat pemilu dilaksanakan, tetapi inilah konsekuensi dari perubahan keterbukaan yang dianut pada pemilu kita.

Oligarki Partai

Banyak kalangan yang kemudian menyesalkan berubahnya dalam draf RUU sistem proporsional terbuka menjadi sistem proporsional tertutup ini. Dalih tentang semangat meminimalisir “money potilic” yang terjadi saat pemilu adalah tidak tepat. Justru hal ini adalah sebagai bentuk kemunduran pada sistem pemilu kita. Pemilu tahun 1999 dan sebelumnya masyarakat tidak pernah mengenal siapa yang akan duduk menjadi perwakilannya di DPR. Interaksi antara calon legislatif dengan masyarakat tidak terjalin. Sebab partailah penentu siapa yang akan ditunjuk menduduki kursi dan menjadi anggota DPR. Keran permainan justru akan terjadi pada internal partai. Proporsional tertutup juga tentu tidak akan mengurangi sarat terjadinya politik transaksional dan kembali menguatnya oligarki kepartaian. 

Secara umum kita mengetahui bahwa menguatnya oligarki partai (politik) akan menjadi kemunduran sistem pemerintahan. Chek and balance diantara trias politica yakni eksekutif, legilatif dan yudikatif bisa tidak lagi berjalan dengan maksimal. Sebab terminologi oligarki adalah pemerintahan yang dikendalikan oleh kelompok elit (bukan rakyat). Tentu saja dampaknya akan mengakibatkan pemerintahan yang tidak lagi pro rakyat dan tidak populis. Demikian diungkapkan Robert Michles (1915) dalam bukunya “Political Parties”. 

Kontrol masyarakat terhadap partai akan terbatas dengan sendirinya, hal ini akan berdampak kurang baik. Jika mengingat kasus Harun Masiku yang terjadi beberapa saat lalu mengindikasikan bahwa apa yang dikehendaki oleh rakyat belum tentu sejalan dengan apa yang dikehendaki parpol. Adanya upaya merubah rekomendasi Pergantian Antar Waktu (PAW) dari urut suara terbanyak selanjutnya kepada yang jauh lebih sedikit dibawahnya. 

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa partai lebih mengetahui kualitas kader yang dimilikinya. Banyaknya caleg yang secara intsant bergabung dengan mengandalkan popularitas tentu menjadi pesaing bagi kader yang selama ini membesarkan partai. Tetapi bagi masyarakat dan wajib pilih komunikasi yang terbangun antara caleg dan masyarakat serta kedekatan secara emosional adalah salah satu faktor dalam menentukan pilihan. Untuk itu masyarakat harusnya mengenal siapa yang akan duduk mewakilinya dilegislatif sebagai perwujudan sistem pemilu kita. 

Pembatasan Partisipasi

Jika mengacu pada prinsip demokrasi yang mengutamakan partisipasi rakyat seluas-luasnya maka sistem proporsional terbuka akan lebih tepat dan tetap harus dipertahankan. Sebab pemilih tahu dan menentukan pilihan pada siapa yang dikehendakinya. Proporsional tertutup bisa saja akan mengurangi partisipasi publik terhadap pemilu. 

Pertama adalah tentang partisipasi masyarakat untuk maju menjadi calon legislatif. Seseorang yang oleh masyarakat dianggap mampu membawa aspirasi untuk duduk menjadi anggota DPR bisa saja urung untuk berpartisipasi. Sebab minat untuk maju pasti akan tersandera oleh pemikiran bahwa penentu yang menduduki kursi adalah partai bukan rakyat. 

Partisipasi berikutnya adalah partisipasi pemilih pada pelaksanaan Pemilu. Stigma negatif terhadap partai politik memang masih ada disebagian kalangan masyarakat. Ditambah lagi dengan sistem tertutup seperti ini masyarakat akan berfikir bahwa siapa saja yang akan duduk menjadi anggota DPR setelah suara partai dikonversi menjadi kursi sudah dapat diprediksi jauh-jauh hari. Komunikasi yang terbangun antara pemilih dan calon legislatif tentu tidak akan maskimal seperti pada Pemilu dengan sistem terbuka. Sehingga akan menimbulkan sikap apatisme masyarakat terhadap gelaran Pemilu yang akan digelar, yang ujungnya akan mengurangi tingkat partisipasi pemilih yang telah dicapai pada pemilu sebelumnya.

Padahal jika melihat rilis yang disampaikan oleh Litbang Kompas dengan mengambil sampel di 33 provinsi di Indonesia hanya ada 18.1% masyarakat yang memilih partai politik saja tanpa melihat siapa calegnya, sedangkan yang memilih calegnya saja ada 21.2%. Sementara yang memilih karena keduanya adalah 56.8%. Survei lainnya menunjukkan perbandingan yang sangat besar antara yang memilih caleg berdasarkan nomor urut 6.5% sedangkan yang memilih karena mengenal atau mengetahui caleg tersebut ada 84.1%. Hal tersebut diatas memberikan gambaran yang sangat jelas bahwa masyarakat perlu mengetahui siapa yang akan mewaikilinya. Jangan sampai malah terkesan seperti membeli kucing dalam karung. 

Akhirnya jika kita sepakat untuk berpihak pada kedaulatan pemilih, maka tentu kita akan mempertahankan sistem pemilihan dengan proporsional terbuka. Perjalanan demokrasi kita terus yakini berada pada jalur menuju kesempurnaan. Olehnya itu evaluasi yang dilakukan harusnya menitik beratkan terhadap hal-hal yang perlu mengalami perbaikan saja. Bukan kemudian mengurangi apa yang telah dicapai sebelumnya. Sebab dengan proporsional terbuka maka sebenarnya kita sedang mempertahankan implementasi dari salah satu asas pemilu yang Luber Jurdil (Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil).(*)

Saturday, June 13, 2020

1:49 AM - No comments

Menjaga Partisipasi Pemilih di Masa Pandemi



Oleh : Andang Masnur 
(Komisioner KPU Kab Konawe) 

Keputusan menggelar Pilkada pada 9 Desember 2020 ditengah upaya memerangi covid 19 mendapat beragam tanggapan dari berbagai kalangan. Tahapan Pilkada segera akan kembali dilanjutkan pada pertengahan Juni ini. Penyelenggara teknis pemilihan yakni KPU tengah merampungkan Peraturan KPU terkait tahapan dan jadwal Pilkada tersebut. Jika tidak ada aral melintang maka penyelenggara adhock yang telah dibentuk sebelumnya dan akhirnya dinonaktifkan akibat wabah akan segera diaktifkan lagi dan melanjutkan kerja mereka.

Dari berbagai tantangan yang akan dihadapi saat menggelar Pilkada ditengah pandemi ini salah satunya adalah mengenai kualitas penyelenggaraan dalam hal tingkat partisipasi masyarakat atau partisipasi pemilih. Dikhawatirkan dengan adanya pandemi covid 19 akan mempengaruhi tingkat partisipasi pemilih di TPS pada saat Pilkada digelar nanti.

Faktor Pandemi

Tentu saja wabah covid yang menyerang hampir seluruh negara di dunia ini mengakibatkan perubahan hidup yang besar. Termasuk dengan perubahan rancangan kampanye yang direncanakan tidak akan menggunakan metode tatap muka atau kampanye akbar. Sosialisasi dan penyampaian visi-misi dimungkinkan akan dilakukan dengan metode selebaran gambar atau spanduk. Hal ini didasari karena mempertimbangkan protocol kesehatan yang harus dilaksanakan demi memutus pandemi virus covid 19. Metode seperti ini tentu mempengaruhi euphoria masyarakat dalam menyambut Pilkada. Keterbatasan akses seperti ini juga menghambat tersampaikannya visi-misi kandidat sampai kepada wajib pilih. Hal tersebut tentu akan menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi ketertarikan masyarakat khususnya wajib pilih untuk datang menyalurkan hak pilihnya di TPS. 

Berikutnya adalah kekhawatiran kesehatan masyarakat. Kebiasaan beraktifitas dari dalam rumah akibat sosial distancing dan pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di sebagian daerah membentuk kebiasaan baru bagi masyarakat. Orang-orang akan merasa lebih aman jika berada di dalam rumah dari pada harus keluar pada kerumunan orang banyak. Rasa trauma juga tentu akan mendera sebagian masyarakat kita melihat banyaknya kejadian dan berita mengenai covid 19 ini. Diketahui dari beberapa daerah yang menggelar Pilkada 2020 ini beberapa diantaranya justru yang ikut memberlakukan PSBB. Penyebab hambatan selanjutnya adalah kondisi kesehatan wajib pilih. Tidak menuntut kemungkinan saat pelaksanaan Pilkada nanti digelar masih ada masyarakat atau wajib pilih yang sedang menderita atau terpapar virus corona. Meskipun secara teknis nanti kemungkinan akan tetap dirancang cara mereka menyalurkan hak pilih.

Beda Pilpres Beda Pilkada

Optimisme penyelenggara dalam mendulang sukses pelaksanaan Pilkada bisa dengan mengambil acuan saat gelaran Pemilu 2019 yang lalu. Trend positif kenaikan angka partisipasi menjadi salah satu catatan terbaik bagi para penyelenggara. Partisipasi pemilih dengan angka 82,15% menjadi angka yang tergolong fantastis. Sebab pada pemilu sebelumnya yakni 2009 angka partisipasi berada hanya diangka 71,7% dan Pemilu 2014 diangka 75,11%. Namun apakah angka partisipasi pemilih Pemilu dapat sama dengan angka partisipasi Pilkada? Jawabannya bisa iya bisa tidak. Salah satu penyebabnya adalah perbedaan jumlah kontestan. Kita tentu paham bahwa jumlah kontestan Pemilu lebih banyak dari pada kontestan atau peserta dalam gelaran Pilkada. Jumlah peserta yang banyak turut membentuk tim dan simpatisan yang banyak ditengah-tengah masyarakat. Hal ini kemudian menjadi salah satu “mesin penggerak” bagi masyarakat untuk ikut berpartisipasi menyalurkan hak pilih saat pemilihan digelar. 

Sebaliknya saat Pilkada jumlah peserta yang terbilang kecil antara dua sampai lima pasang saja. Hal ini mempengaruhi mobilisasi dukungan masyarakat terhadap salah satu calon. Meskipun di sebagian daerah memang Pilkada lebih memantik suhu politik dari pada pemilihan lainnya. Tetapi gelaran Pemilu serentak tahun 2019 lalu yang menggabungkan Pilpres dan Pilcaleg menunjukkan peningkatan partisipasi meningkat tajam seperti yang telah disebutkan diatas. Hal lain yang membedakaan adalah durasi kampanye pada Pemilu yang terbilang cukup panjang dan kemudian me-massif-kan kampanye sehingga tersampaikan dengan baik kepada masyarakat. Gelaran Pemilu yang mencakup skala Nasional juga menjadi pembeda dengan Pilkada meskipun serentak tetapi hanya digelar di 270 daerah se Indonesia tahun ini. Hal-hal tersebut tentu mempengaruhi keterlibatan masyarakat dan partisipasi pemilih di TPS nanti.

Upaya dan Harapan

Pertama tentu adalah sosialisasi oleh penyelenggara Pilkada. Pergeseran Pilkada tanggal pelaksanaan dari 23 September ke tanggal 9 Desember 2020 perlu diperkuat. Sebagian masyarakat mendengar dan mengetahui terjadi penundaan Pilkada, tetapi belum tentu mengetahui bahwa pemerintah berkomitmen melanjutkan tahapan dan tetap menggelar pada tahun ini. Keterbatasan sosialisasi secara langsung atau tatap muka di semua segmen pemilih yang dalam UU No 7 tahun 2017 membagi 11 basis memang menjadi kendala. Tetapi dengan menggunakan media gambar, pamflet, brosur dan spanduk bisa memperkuat sosialisasi. Memanfaatkan media elektronik juga bisa membantu menjaga partisipasi Pemilih. Sosialisasi tahapan melalui radio dan televisi contohnya. 

Hal lain yang bisa membantu adalah dengan membentuk Relawan Demokrasi (Relasi) seperti pada Pemilu yang lalu. Meskipun hanya pada satu basis yakni basis warganet (internet) tetapi hal ini bisa menjadi maksimal. Mengingat hampir sebagian besar masyarakat aktif dan bahkan lebih aktif menggunakan media sosial internet saat masa pandemi ini. Kelemahannya memang ada yakni tidak semua warga terjangkau oleh sinyal dan bisa mengakses sosialisasi tersebut. Tetapi setidaknya informasi yang disebar melalui daring (dalam jaringan) tersebut bisa menjadi embrio untuk massifnya sosialisasi tahapan dan pelaksanaan Pilkada serentak masa pandemi ini.

Kedua kita tentu berharap peran aktif stake holders dalam membantu sosialisasi tahapan dan jadwal pelaksanaan Pilkada serentak. Sebagaimana halnya peran pemerintah saat Pemilu yang lalu kita mengaharapkan hal yang sama saat Pilkada digelar. Kedekatan pemerintah dari bawah sampai atas dengan masyarakat akhir-akhir ini akibat covid tidak dapat diragukan. Sebab upaya pemerintah dalam menstimulus kebutuhan masyarakat dengan memberikan bantuan sangat berpengaruh. Hal tersebut bisa digunakan sebagai media dalam memberikan informasi pelaksaaan Pilkada. Meskipun secara jujur keran politisasi terhadap bantuan yang disalurkan memang terbuka. Tetapi dengan pengawasan yang kuat kita berharap itu tidak akan terjadi.

Paling penting dari keterlibatan stake holder lainnya adalah soal penjaminan keselamatan dan kesehatan masyarakat. Dukungan berupa tenaga dan alat bantu kesehatan yang sesuai dengan protokol kesehatan dapat membantu kepercayaan masyarakat untuk datang ke TPS menyalurkan hak pilih. Sebaliknya jika tidak ada jaminan dan dukungan seperti itu bisa membuat masyarakat khawatir terpapar dan tidak bersedia mendatangi TPS. Walaupun KPU dalam perjalanan persiapannya merancang Pilkada dimasa pandemi ini dengan mempersiapkan kebutuhan alat yang sesuai dengan protokol kesehatan, tetapi sokongan dan dukungan dari stake holder dalam hal ini tenaga medis akan sangat membantu. 

Pada akhirnya jika melihat negara satu-satunya yang menggelar Pemilu di masa pandemi adalah Korea Selatan. Pertama dalam sejarah sejak 28 tahun menggelar Pemilu justru di masa pandemi ini mampu mendulang angka partisipasi tertinggi. Partisipasi pemilih pada Pemilu yang digelar pada awal April lalu 66.2% atau 29.1 juta wajib pilih dari 44 juta pemilih yang terdata. Artinya optimisme dalam menjaga partisipasi pemilih di masa pandemi ini tidak boleh kendor. Sosialisasi dan penjaminan keselamatan bagi masyarakat dengan tetap mengacu pada protokol kesehatan akan menjadi kunci. Harapan kita Pilkada 2020 dapat berjalan sukses dengan angka partisipasi tetap di atas 75%. Selain itu pula keselamatan penyelenggara dan masyarakat harus terjamin, sehingga tidak ada istilah “klaster pilkada” pada masa dan sesudah Pilkada 2020 dilaksanakan.


*Sebelumnya atas izin penulis artikel ini juga telah diterbitkan oleh kumparan.com dan timesindonesia.co.id