Monday, June 7, 2021

12:31 AM - No comments

Menyiapkan SDM Handal untuk Pemilu 2024


Oleh : Andang Masnur

Rancangan pelaksanaan Pemilu dan Pilkada selanjutnya terus bergulir untuk menemukan formulasi yang tepat. Sebelumnya wacana untuk melaksanakan Pilkada sesuai jadwal AMJ (akhir masa jabatan) para kepala daerah yaitu tahun 2022 dan 2023 sempat bergulir. Hingga pembahasan rancangan perubahan UU Pemilu yang baru masuk sebagai agenda pembahasan prioritas di DPR. Namun belum lagi final opsi untuk menyelenggarakan Pilkada pada tahun 2024 sesuai dengan UU No. 10 tahun 2016 kembali menguat. 
Pemerintah, KPU dan Bawaslu hingga saat ini terus merumuskan desain penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada yang tepat. Terbaru hasil konsinyering antar lembaga terkait tersebut merumuskan beberapa poin yang salah satunya menyebutkan bahwa penyelengaraan Pemilu yakni Pileg dan Pilpres akan dimajukan pada bulan Februari 2024.

Tahapan pelakasanaannya akan dimulai 25 bulan sebelumnya yaitu sekitar bulan Maret tahun 2022. Sedangkan Pilkada akan digelar pada bulan November tahun 2024 dengan memperhatikan hasil Pemilu 2024 sebagai dasar pencalonan kepala daerah. Meskipun poin-poin tersebut diatas belum merupakan sebuah keputusan yang final, tetapi jika melihat opsi-opsi yang berkembang tersebut maka salah satu yang akan menjadi perhatian adalah panjangnya waktu dalam mempersiapkan tahapan Pemilu tersebut. Jika tahapan dimulai diawal tahun 2022 maka tentu saja waktu yang dibutuhkan lebih kurang 2 tahun sebelum hari pelaksanaan Pemilu. Penyelenggaraan tahapan Pemilu 2024 yang memakan waktu sangat panjang tentu akan menguras energi yang banyak. Olehnya itu dibutuhkan Sumber Daya Manusia (SDM) atau dalam hal ini penyelenggara Pemilu yang benar-benar siap menghadapi segala macam tantangan dalam menyukseskan Pemilu 2024 nanti.

Pengalaman pelaksanaan pemilu 2019 lalu banyak mengajarkan kepada kita tentang kompleksitas tantangan yang dihadapi oleh para penyelenggara. Untuk itu ada dua poin yang menjadi catatan khusus bagi penulis dalam menyiapkan penyelenggara yang handal dalam menghadapi pemilu selanjutnya. 

Pertama adalah rekruitmen yang benar-benar selektif. Sebagai garda terdepan dalam menyukseskan tahapan Pemilu, penyelenggara yang direkrut harus benar-benar siap bekerja baik dari segi mental maupun fisik. Kesiapan mental ini sangat menunjang maksimalnya para penyelenggara dalam bekerja. Mental yang kuat dapat menghindarkan penyelenggara dari segala macam tantangan yang bisa menjadikan mereka tidak profesional dalam bekerja. Godaan dalam hal integritas sebagai penyelenggara sangatlah kuat. Mulai dari penyelenggara tingkat atas hingga penyelenggara adhock paling bawah. Apalagi pada tahapan Pemilu yang melibatkan ratusan calon yang bisa saja salah satu dari Caleg adalah kerabat atau kolega dari penyelenggara itu sendiri.

Kesiapan mental lainnya adalah kesiapan untuk menuntaskan tahapan penyelenggaraan Pemilu hingga benar-benar selesai. Menjadi penting dalam cacatan penyelenggaraan pemilu yang lalu adalah banyaknya penyelenggara adhock baik PPK maupun PPS yang mengundurkan diri saat tahapan tengah berjalan. Dari sekian banyak alasan yang diajukan adalah pada saat yang sama para penyelenggara adhock ini diterima bekerja di tempat lain sehingga mengharuskan mereka meninggalkan pekerjaannya sebagai penyelenggara adhock. 

Jika melihat PKPU yang mengatur persyaratan usia bagi penyelenggara adhock mungkin baiknya dapat direvisi dari batasan usia minimal 18 tahun menjadi 20 atau 22 tahun usia minimal. Sebab usia 18 tahun adalah usia sangat produktif bagi generasi muda sekarang yang akan mencari kerja atau melanjutkan studi setelah tamat SMA sederajat. Selain kesiapan mental adalah yang tidak kalah pentingnya yakni kesiapan fisik atau kesehatan penyelenggara.

Padatnya tahapan dan panjangnya waktu pelaksanaan tentu akan menguras energi yang besar bagi penyelenggara pemilu. Kita tidak menginginkan catatan buruk angka kematian akibat kelelahan kerja saat Pemilu 2019 lalu kembali terulang. Sehingga perhatian panitia seleksi dalam merekrut penyelenggara yang sehat mesti menjadi prioritas kedepannya. 

Yang kedua adalah bimbingan yang tuntas bagi para penyelenggara. Pelaksanaan pemilu 2024 kedepannya tentu akan melibatkan orang-orang yang baru bergabung sebagai penyelenggara adhock. Batasan periodesasi sebanyak 2 kali akan menjadi kendala bagi mereka yang telah mempunyai pengalaman untuk kembali bergabung. Sehingga disebagian tempat tentu akan melibatkan atau merekrut penyelenggara yang minim pengalaman di lapangan sebagai penyelenggara pemilu.

Untuk itu kita mengharapkan agar penyelanggara mampu diisi pengetahuannya melalui bimbingan teknis atau melalui rapat koordinasi secara berulang hingga tuntas. Hal ini harus dilakukan untuk memberikan pemahaman kerja yang maksimal kepada para penyelenggara sebab jika hanya dilakukan sekali saja belum tentu mampu menjangkau dan memberikan pemahaman yang sama dan tepat bagi seluruh jajaran penyelenggara. 

Tantangan kerumitan pelaksanaan Pemilu kedepannya juga kemungkinan akan sama pada saat Pemilu 2019 yang lalu. Sebab Pileg dan Pilpres rencananya akan digelar secara bersamaan (dihari yang sama). Sehingga kesetaraan pemahaman bagi seluruh jajaran penyelenggara untuk menghindari kekeliruan dalam melaksanakan tahapan dapat terhindarkan. 

Panjangnya waktu dan padatnya tahapan bisa saja akan menghadirkan kejenuhan bagi sebagian penyelenggara. Sehingga strategi dalam memberikan penguatan kelembagaan sangat dibutuhkan dalam memberikan support dan motivasi kerja bagi seluruh jajaran penyelenggara baik tingkat atas maupun pada tingkat penyelenggara adhock. 

Jika kesemuanya ini dapat dilakukan dengan baik, pada proses rekruitmen benar-benar dilakukan secara selektif dengan screening yang maksimal dalam memilih penyelenggara yang siap secara mental dan fisik untuk bekerja. Dan secara berkala selalu diberikan materi pemahaman tentang tata kerja pelaksanaan tahapan serta penguatan kelembagaan yang dapat menumbuhkan motivasi kerja yang maksimal sehingga terhindar dari kejenuhan akibat padatnya tahapan dan panjangnya waktu persiapan pelaksanaan menuju hari H Pemilu. Tentu hal ini akan melahirkan SDM/Penyelenggara yang handal yang siap meyukseskan tahapan Pemilu 2024 dengan baik dan menghindari kekeliruan kerja serta menghasilkan Pemilu yang lebih berkualitas. 

Paling terakhir kita mengharapkan agar Pemerintah, KPU dan Bawaslu segera mendapatkan rumusan yang benar-benar final sehingga persiapan seluruh komponen baik penyelenggara, peserta maupun pihak-pihak terkait bisa benar-benar maksimal. Sehingga pesta demokrasi yang akan melahirkan pemimpin baru dan menentukan arah bangsa lima tahun berikutnya dapat terlaksana dengan damai dan jauh dari perpecahan yang dapat merugikan kita sendiri.

Saturday, January 23, 2021

11:26 PM - No comments

Kuasa Kekerabatan dalam Pilkada 2020

Ilustrasi Dinasti Politik (Sumber:sindonews.com)

Pilkada 2020 telah usai digelar, secara normatif semua berjalan aman, lancar dan kondusif. Sampai saat ini dari 270 daerah yang menggelar Pilkada sebagian sebentar lagi akan melakukan pleno penetapan pemenang Pilkada. Sedangkan sebagian lagi masih berproses di Mahkamah Konstitusi untuk menyelesaikan sengketa hasil yang digugat oleh para pemohon. 

Sejak kita menggelar Pilkada secara langsung pertama kali pada Juni tahun 2005, perkembangan demokrasi di Indonesia begitu dinamis. Masyarakat semakin hari semakin dewasa dalam menentukan pilihan dan sadar akan pentingnya menyalurkan hak pilih. Meski digelar dalam kondisi pandemi covid 19, angka partisipasi pemilih di beberapa daerah mencapai target nasional yakni 77.5%. Tercatat 5 daerah yang mencapai angka partisipasi tertinggi se Indonesia adalah Pegunungan Arfak 99,5%, Mongondow Timur 95,94%, Mongondow Selatan 94,54, Raja Ampat 93,67% dan Dompu 93,53%.

Dari cerita panjang hajatan Pilkada 2020 ini saya mencoba membuat catatan dari salah satu fenomena yang terjadi yakni hadirnya beberapa calon kepala daerah yang mempunyai hubungan kekerabatan dengan pejabat baik ditingkat pusat maupun daerah. Begitu banyaknya calon kepala daerah yang mempunyai hubungan kekerabatan dengan pejabat negara maupun daerah membuat beberapa kalangan menilai bahwa politik dinasti tumbuh subur dalam dunia demokrasi kita dewasa ini.

Politik Dinasti dan Oligarki Politik

Pada konteks bahasa dinasti kita kenal sebagai sebuah istilah dalam praktik politik zaman kerajaan. Kekuasaan akan turun temurun kepada keluarga ahli waris yang berhak melanjutkan tahta kekuasaan jika yang memangku jabatan tersebut telah mangkat atau tidak dapat lagi melanjutkan kekuasaannya. Dinasti politik dapat diartikan sebagai upaya mempertahankan kekuasaan agar tidak jatuh kepada orang lain melainkan masih dalam lingkungan keluarga terdekat.

Praktik politik seperti ini telah ada sejak zaman kerajaan kuno baik di Indonesia itu sendiri maupun kerajaan lainnya di dunia. Seolah mengadopsi apa yang telah terjadi selama ini, maka dinasti politik juga berintegrasi dalam sistem perpolitikan kekinian. Jika cara kuno atau tradisional peralihan kekuasaan adalah dengan sistem penujukan kepada sang ahli waris kekuasaan maka dalam konteks kekinian peralihan kekuasaan dipraktikkan secara prosedural.

Sedangkan oligarki disebutkan adalah bentuk pemerintahan yang kekukasaannya dijalankan atau dipegang oleh suatu kelompok, baik kelompok keluarga maupun kelompok kelompok lainnya. Tumbuhnya oligarki kekuasaan bukan hanya terjadi saat ini. Menurut Vedi R Hadiz bahwa oligarki telah tumbuh pesat sejak zaman orde baru hingga setelah reformasi. Hanya saja yang membedakannya jika di zaman orde baru oligarki dipraktekkan hanya oleh penguasa, lain halnya dengan oligarki pasca reformasi yang mulai menyebar hingga ke daerah. Hal ini tentunya didorong oleh pola pemerintahan desentralilasi. 

Dinasti dan Konstitusi

Jika melihat sejumlah calon yang berasal dari kalangan keluarga pejabat maka tentu isu politik dinasti akan menjadi topik pembicaraan. Kolom-kolom diskusi menjelang Pilkada kemarin tidak sedikit yang membicarakan hal ini. Di beberapa daerah ada yang kepala daerahnya telah mencapai periode maksimal atau periode kedua dan tidak dapat lagi mencalonkan lalu kemudian digantikan oleh istrinya. Setidaknya ada enam daerah yang istri-istri bupati/wali kota memenangi kompetisi dan kemungkinan akan melanjutkan kekuasaan suami mereka. Misalnya Bupati Sleman, Sri Purnomo yang akan digantikan oleh istrinya Kustini. Bagitu juga yang terjadi di Banyuwangi, Sukoharjo, Pasangkayu dan Indragiri Hulu. Ada juga bupati yang nantinya akan digantikan oleh anaknya seperti yang terjadi di Tuban. Aditya Halindra merupakan anak dari Bupati dua periode Haeny Relawati yang berhasil ungul dari 2 pesaingnya di Pilkada kemarin.

Tetapi apakah hal tersebut menyalahi konstitusi demokrasi kita? Jawabannya tentu tidak. Sebab setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 33/PUU-XII/2015 tentang pengujian Pasal 7 huruf r UU nomor 8 tahun 2015 maka keluarga dan kerabat dibolehkan untuk maju mencalonkan sebagai calon Kepala Daerah. Padahal dalam pasal tersebut dengan tegas berbunyi “warga negara Indonesia yang dapat menjadi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Wali Kota dan Calon Wakil Wali Kota adalah memenuhi persyaratan tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana”. Pada penjelasan UU, konflik kepentingan dengan petahana yang dimaksudkan adalah tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu kecuali telah melewati jeda 1 kali masa jabatan. 

MK berdalih bahwa pasal tersebut bersifat diskriminatif dan melanggar hak asasi manusia. Andai saja pasal tersebut tidak diujikan dan masih berlaku dalam UU Nomor 10 tahun 2016 tentu saja kita akan mendapati fenomena yang lain dalam gelaran Pilkada tahun 2018 dan 2020 yang lalu. Tentu sanak family yang masih ada hubungan keluarga dengan kepala daerah incumbent tidak dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah. 

Peralihan kekuasaan dengan cara mengikuti kontestasi pemilihan ini yang disebutkan sebagai praktik dinasti dengan cara prosedural. Fasilitas yang melekat secara alamiah pada diri calon yang berasal dari keluarga petahana dimungkinkan menjadikannya mampu dengan mudah mengungguli rivalnya pada setiap gelaran pemilihan. Sebagian kalangan menilai bahwa praktek politik dinasti ini mengkhawatirkan bagi demokrasi kita. Sebab orientasinya adalah bagaimana mempertahankan kekuasan tersebut dikalangan keluarga tertentu.

Perbaikan tatanan demokrasi kita menuju ke arah yang lebih baik sangat kita harapkan. Sehingga evaluasi terhadap pelaksanaan dari gelaran Pemilu dan Pemilihan yang digelar sangat penting. Jika melihat draf RUU Pemilu yang sedang menjadi pembahasan di DPR, pada buku ketiga Pasal 182 tentang persyaratan pencalonan tidak terdapat hal yang membatasi sanak family dari kepala daerah incumbent untuk maju sebagai calon kepala daerah.

Jika semua masyarakat teredukasi secara baik tentang pendidikan politik maka sebenarnya tidak ada yang perlu kita khawatirkan tentang calon yang berasal dari keluarga kepala daerah atau pejabat negara lainnya. Sebab yang menjadi penentu terpilih tidaknya calon tersebut adalah kembali kepada masyarakat atau wajib pilih. Masyarakat dengan pengetahuan politik yang dimilikinya tentu tidak akan bisa didikte atau diintervensi oleh kekuasaan untuk memilih calon tertentu. Pengawasan baik dari lembaga Bawaslu maupun dari masyarakat secara umum untuk menjamin bahwa tidak ada pelanggaran yang dilakukan oleh penguasa untuk memenangkan calon tertentu. Segala bentuk fasilitas yang melekat secara alamiah terhadap kepala daerah incumbent maupun pejabat negara lainnya tidak akan bisa mempengaruhi masyarakat dalam menentukan pilihan.

Pada akhirnya pemilihan kepala daerah adalah ajang dalam menentukan siapa yang layak memimpin masyarakat dalam periode selanjutnya. Maka menciptakan pemilihan yang “fair” bagi semua kontestan untuk memenangkan hati masyarakat agar terpilih adalah tugas kita semua. Setiap calon diberi perlakuan yang sama dalam menggalang dukungan, sedangkan masyarakat diberikan haknya untuk menentukan siapa yang akan dipilihnya. Dengan demikian perbaikan kualitas demokrasi kita bukan hanya tanggung jawab penyelenggara sendiri, melainkan menjadi tanggung jawab kita bersama. Semoga kualitas demokrasi kita selanjutnya semakin baik. Ammiiin… 

Tuesday, January 19, 2021

5:09 AM - No comments

Menilik Angka Partisipasi di Pilkada 2020


Oleh : Andang Masnur 

Perhelatan pemilihan kepala daerah 2020 telah selesai digelar. Berbagai catatan ditorehkan dalam sejarah perjalanan demokrasi kita. Bagaimana tidak, Pilkada 2020 ini merupakan pemilihan dengan banyak cerita berbeda sebab digelar dimasa pandemi covid 19. Banyak orang yang ragu terhadap persiapan pelaksanaannya, tetapi 270 daerah yang menggelar pesta demokrasi ini membuktikan kesiapan dan kematangan dalam berdemokrasi. Salah satu yang menjadi poin penting dalam pelaksanaan Pilkada kemarin adalah angka partisipasi masyarakat yang terbilang cukup tinggi.

KPU RI telah menargetkan 77.5% angka partisipasi pada Pilkada 2020 ini. Beberapa daerah yang menggelar justru melampaui target nasional yang telah ditetapkan. Padahal jika melihat pola kebiasaan baru masyarakat yang terbentuk akibat covid ini, kebanyakan masyarakat enggan beraktifitas di luar rumah dan menghindari kerumunan. Masyarakat akhir-akhir ini cenderung melakukan aktifitas dari dalam rumah (WFH) demi menjaga agar tidak terpapar virus covid 19. Apalagi menjelang pelaksanaan Pilkada pada akhir November sampai awal Desember data jumlah orang terpapar virus covid 19 menunjukkan pergerakan yang cukup tinggi. Hal ini justru membuat beberapa kalangan berfikir akan mempengaruhi rendahnya partisipasi masyarakat untuk datang ke TPS menyalurkan hak pilih.

Khusus di Sulawesi Tenggara, dari 7 daerah yang menggelar Pilkada secara keseluruhan angka partisipasi masyarakat mencapai 87.10%. Daerah dengan persentase tertinggi adalah Konawe Utara dengan angka partisipasi 92.96%. Tertinggi kedua adalah Konawe Kepulauan dengan persentase 91.92% disusul Buton Utara 90.65%. Ketiga daerah tersebut mencatatkan angka partisipasi yang cukup fantastis dengan menembus angka diatas 90% dari daftar pemilih yang tercatat dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Sementara empat daerah lainnya yakni Kolaka Timur, Konawe Selatan, Wakatobi dan Muna berada pada angka 82-85%. Artinya bahwa ketujuh daerah tersebut sukses melampaui target partisipasi secara nasional.

Jika menilik lebih jauh tentu saja partisipasi ini bukan sekedar angka tanpa sebab. Saya mencoba melihat dari beberapa aspek yang mempengaruhinya. 

Pertama adalah isu covid 19. Tidak dapat kita napikkan bahwa sedikit banyaknya covid 19 ini membentuk pola hidup baru bagi masyarakat. Sehingga sebagian daerah yang memang betul-betul tinggi jumlah pasien terpapar covid akan mempengaruhi pola kebiasaan masyarakatnya. Meskipun Korea Selatan mencatatkan hal yang luar biasa saat menggelar Pemilu  pada April kemarin justru angka partisipasinya naik dibandingkan angka partisipasi 20 tahun sebelumnya. 

Konawe Utara dan Konawe Kepulauan sebagai daerah yang sejak awal merebaknya virus corona relatif aman dari penderita dan sempat beberapa waktu mempertahankan predikat sebagai “green zone” atau daerah hijau. Kedua daerah ini cukup dinilai aman oleh masyarakat dalam beraktifitas di luar rumah. Sehingga masyarakat dalam melakukan aktifitas terbilang cukup biasa tanpa ada rasa ketakutan berlebih akan terpapar virus covid 19. Hal ini dimungkinkan mempengaruhi jumlah orang untuk datang ke TPS tanpa ada perasaan cemas akan terpapar. 

Yang kedua adalah sosialiasi yang massif dari penyelenggara. Perubahan jadwal pelaksanaan Pilkada yang seharusnya dilaksanakan tanggal 23 September lalu kemudian berubah menjadi 9 Desember 2020 membuat KPU mesti bekerja keras melakukan sosialisasi. Kepastian pelaksanaan Pilkada sejak diputuskan ditunda lalu kemudian dilanjutkan setelah terbitnya PERPPU Nomor 2 Tahun 2020 tentu membuat sebagian masyarakat bingung. Untungnya jeda waktu yang ada setelah keputusan melanjutkan Pilkada dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh penyelenggara untuk memasifkan informasi dan sosialisasi pelaksanaan Pilkada. 

Hal ini tentu juga didukung oleh seluruh pihak terutama media massa baik elektronik maupun cetak dalam membantu menginformasikan kelanjutan pelakasanaan Pilkada sehingga mampu dijangkau oleh masyarakat. Syaiful Mujani merilis hasil survey pada evaluasi pelaksanaan Pilkada menyebutkan bahwa secara nasional 83% masyarakat tahu bahwa tanggal 9 Desember akan dilaksanakan Pemilihan Kepala Daerah.

Ketiga adalah tentu keberhasilan paslon dan tim dalam mengkonsolidasi para pemilih. Tidak mudah memang dalam menggalang dukungan pada masa pandemi ini. Terlebih pola kampanye dan pengenalan calon ke kantong-kantong basis massa begitu terbatas. Kreatifitas dari tim sangat dibutuhkan agar visi-misi dan program yang ditawarkan dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat. 

Masa kampanye selama 71 hari yang dilakukan oleh masing-masing paslon menjadi ajang pertarungan dalam meyakinkan pemilih untuk tetap datang ke TPS memberikan dukungan. Masih dari hasil survey Syaiful Mujani 85% masyarakat yang tinggal di daerah yang menggelar Pilkada merasa yakin bahwa pemimpin yang dihasilkan dari hasil Pilkada akan membuat daerah semakin baik. 

Angka partisipasi pemilih tentu kita berbicara kuantitas pemilih. Banyaknya orang yang datang menyalurkan hak pilih pada hari H pelaksanaan Pilkada. Secara utuh kita tidak boleh melepas perhatian terhadap kualitas pemilih. 

"Dua hal yang sederhana namun pokok dalam menilai kualitas pemilih adalah tidak adanya money politik dan kedewasaan dalam menerima perbedaan pilihan."

Kesadaran wajib pilih untuk datang menyalurkan hak pilihnya tanpa adanya iming-iming materi atau money politik adalah harapan besar kita. Menjadikan masyarakat sebagai pemilih cerdas bukan hanya tugas penyelenggara dalam mensosialisasikan dan menindak apabila terjadi dilapangan. Tetapi juga tugas bagi peserta dalam mengedukasi masyarakat untuk tidak mempraktekkan politik uang kepada pemilihnya.

Hal lain yang menjadi poin terhadap kualitas pelaksanaan Pilkada adalah tentu kedewasaan peserta maupaun pendukung dalam menerima perbedaan pilihan dan dan menerima kekalahan. Kefanatikan pendukung kadang berlebihan sehingga membuat adanya gesekan antar sesama pendukung. Padahal perbedaan tidak mesti dipertajam dengan perdebatan dan saling hujat yang justru akanmelahirkan konflik yang merugikan orang banyak. 

Sebab jika kita melihat kembali telah ada fakta integritas yang ditanda tangani oleh masing-masing pasangan calon yang menyatakan siap menang dan siap kalah dalam Pemilihan. Jika ini dipegang teguh maka tidak ada konflik yang terjadi sebelum dan setelah pemilihan digelar.

Akhirnya kita mengucapkan selamat kepada daerah-daerah yang telah menyelanggarakan Pilkada pada masa pandemi ini. Kepada para petugas Pilkada, mereka adalah bagian dari sejarah perjalanan demokrasi kita yang rela bertaruh nyama melaksanakan tugas. Kita juga berharap bahwa kualitas penyelenggaraan pemilihan dan Pemilu di Indonesia semakin hari semakin baik. Data yang dirilis oleh Syaiful Mujani menunjukkan 86% masyarakat percaya bahwa pelaksanaan Pilkada tahun 2020 ini digelar dengan Jujur dan Adil sesuai dengan asas pemilu kita.