Tuesday, March 4, 2014

12:44 AM - No comments

SESUMBAR LATAH “WANI PIRO?” (JELANG PILEG)


Tahun 2014 adalah tahun penuh dengan pesta, salah satu dari sekian agenda pesta yang akan dihelat tahun ini adalah pesta demokrasi pemilihan umum yaitu Pemilihan Legislatif atau yang lebih lazim dikenal dengan istilah Pileg. Pemilihan legislatif yang akan digelar tanggal 9 April 2014 ini – jika tak ada perubahan jadwal oleh penyelenggara – akan memilih para legislator mulai dari Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi (DPR Prov.), Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota (DPR Kab./Kota) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Agenda lima tahunan ini adalah salah satu dari sekian banyak agenda reformasi yang terus dilakukan demi menciptakan pemerintahan yang demokratis (Pasal 1 ayat 3UU No. 3 tahun 1999 tentang Pemilu). Dimana dengan konsep rakyat yang memilih langsung/sendiri siapa saja yang mewakili mereka mulai dari  level pusat hingga daerah. Dari konsep tersebut diharapkan kesan pemilu tidak lagi seperti membeli kucing dalam karung, tetapi masyarakat mempercayakan suaranya pada mereka kepada yang memang benar-benar dianggap mampu menjadi legislator di setiap levelnya.

Wani Piro?”
Ada yang menjadi trend hingga saat ini di tengah masyarakat jelang pemilu. Yaitu kata “wani piro?”, yang dalam bahasa jawa berarti “berani berapa?” Atau bisa kita artikan “berani bayar berapa?”. Sepintas ini hanyalah seperti guyonan ringan oleh masyarakat kala kita bertanya siapa yang mereka akan pilih nantinya di pesta demokrasi tersebut. Tetapi lagi-lagi hal ini bukanlah hal yang bisa kita anggap sepele. Mengapa demikian? Sebab guyon tersebut bukan tidak memiliki dasar. Tetapi jelas bahwa ini mengisyaratkan bahwa indicator pilihan masyarakat kita sekarang khususnya mereka yang telah memiliki hak pilih ialah berapa harga suara mereka. Dalam hal ini yang dimaksudkan jelas adalah berapa rupiah yang akan disediakan oleh para caleg dalam membeli suara mereka nantinya. Dari segi hukum, jelas ini adalah salah satu pelanggaran pemilu dimana terjadi suap di dalamnya (diantaranya pasal 117 ayat 2 UU No. 32 tahun 2004). Tetapi lagi-lagi saya beranggapan bahwa ini bukan hanya persoalan hukum dan tidak sesederhana itu saya menilainya. Ada hal yang paling mendasar yang perlu kita telaah dari sesumbar latah wani piro tersebut. Yang saya maksudkan adalah bagaimana bobroknya kualitas demokrasi kita saat ini. Sebab yang saya sebutkan di depan tadi bahwa indikator pemilih kita dalam hal menentukan pilihannya adalah berapa harga yang sanggup dibayarkan oleh mereka para caleg. Bukan lagi kualitas atau kemampuan yang dimiliki oleh caleg yang diperhatikan dalam hal menentukan pemilihan.
Kebiasaan tersebut tentu akan menghadirkan “siklus politik” yang sangat memprihatinkan. Dimana para caleg akan mengeluarkan logistik atau dalam hal ini cost politic yang tentu tidak sedikit. Keadaan ini akan memungkinkan dan sangat besar akan terjadi, ketika mereka terpilih nantinya target mereka yang pertama adalah bagaimana mengembalikan cost politik yang telah mereka keluarkan selama suksesi sebelumnya.Jika sudah seperti itu, maka politisi kita yang seharusnya menjadi refresentasi masyarakat dalam menindak segala macam aspirasi tidak akan berjalan maksimal.Sebab, jika kesibukan mereka kearah yang sifatnya mengembalikan modal ini,tidak menutup kemungkinan praktek korup lagi-lagi akan dipertontonkan oleh mereka wakil rakyat.

DPR Harapan Kita
Data dari berbagai sumber yang ada menggambarkan bagaimana praktek korupsi ini dilakukan oleh para legislator kita. Mahalnya cost politik yang harus mereka keluarkan tadi tentu menjadi salah satu factor yang menyebabkan mereka melakukan hal tersebut. Kasus penyelewengan anggaran hingga skandal suap menjadi topic pemberitaan yang menghiasi berbagai media yang aktornya tak lain adalah mereka para legislator.
Penomena tersebut tentunya tidak ingin lagi kita saksikan di 5 tahun ke depan. Sebab kita tidak ingin menyaksikan bangsa kita semakin terpuruk dengan keadaan korup yang semakin memprihatinkan. Ketertinggalan disegala bidang dari Negara-negara lain adalah buntut dari budaya korup yang semakin merajalela.
Harapan kita masih ada, dengan kita melahirkan legislator-legislator yang bersih. Menciptakan pemilihan legislative yang berkualitas. Tanpa memilih mereka berdasarkan berapa banyak uang yang mereka keluarkan untuk membeli suara kita.Tetapi kita harus berfikir untuk menjadi pemilih cerdas. Yang benar-benar mempercayakan suara kita kepada mereka yang memang berkompoten dan benar-benar mampu menjadi wakil kita. Memperjuangkan apa yang menjadi aspirasi masyarakat  umum, bukan kepentingan pribadi atau golongan tertentu saja. Dan tanpa membebani mereka cost politic yang tinggi, sehingga saat mereka terpilih nantinya, mereka konsen memikirkan kepentingan masyarakat luas.

0 comments:

Post a Comment