Monday, July 27, 2020

5:14 AM - 1 comment

Dinasti dalam Praktik Politik Kekinian


Kontestasi dalam gelaran Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 kini telah menunjukkan suhu yang mulai menghangat. Percaturan siapa yang bakal maju menjadi calon Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota dan Gubernur/Wakil Gubernur mulai terlihat. Ada 270 daerah yang bakal menggelar Pilkada 9 Desember 2020 nanti. Salah satu yang menjadi diskusi di media-media adalah dibeberapa daerah hadirnya bakal calon yang berasal dari keluarga pejabat daerah maupun pejabat negara yang sebagian kalangan menyebut dengan istilah dinasti politik. 

Namun apakah dengan majunya keluarga dari pejabat tersebut misal anak, istri, adik atau saudara tersebut melanggar atau dilarang dalam sistem demokrasi kita?

Dinasti Politik dalam Istilah

Pada konteks bahasa dinasti kita kenal sebagai sebuah istilah dalam praktik politik zaman kerajaan. Kekuasaan akan turun temurun kepada keluarga ahli waris yang berhak melanjutkan tahta kekuasaan jika yang memangku jabatan tersebut telah mangkat atau tidak dapat lagi melanjutkan kekuasaannya. 

"Dinasti politik dapat diartikan sebagai upaya mempertahankan kekuasaan agar tidak jatuh kepada orang lain melainkan masih dalam lingkungan keluarga terdekat."

Praktik politik seperti ini telah ada sejak zaman kerajaan kuno baik di Indonesia itu sendiri maupun kerajaan lainnya di dunia. Seolah mengadopsi apa yang telah terjadi selama ini, maka dinasti politik juga berintegrasi dalam sistem perpolitikan kekinian. Jika cara kuno atau tradisional peralihan kekuasaan adalah dengan sistem penujukan kepada sang ahli waris kekuasaan maka dalam konteks kekinian peralihan kekuasaan dipraktikkan secara prosedural.

Dinasti Politik dalam Regulasi

Tren politik dinasti ini bukan hal yang baru lagi, sehingga dibeberapa daerah kita jumpai adanya hubungan kekerabatan yang begitu dekat antara pejabat kepala daerah sebelumnya dengan yang sedang menjalankan pemerintahan hari ini. 

Puncaknya adalah dengan disusunnya UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada. Pada Pasal 7 huruf r UU disebutkan “warga negara Indonesia yang dapat menjadi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Wali Kota dan Calon Wakil Wali Kota adalah memenuhi persyaratan tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana”

Pada penjelasan UU, konflik kepentingan dengan petahana yang dimaksudkan adalah tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu kecuali telah melewati jeda 1 kali masa jabatan. 

Tetapi belum lama diundangkan Adnan Purichta Ichsan politisi asal Sulsel menggugat pasal ini ke MK. Hasilnya kemudian Adnan memenangkan untuk kemudian pasal ini dihapuskan dalam UU Pilkada tersebut dan membolehkan keluarga yang dimaksud dalam pasal tersebut untuk mencalonkan diri. Sampai saat ini pada UU Nomor 10 tahun 2016 regulasi yang membatasi hal tersebut tidak lagi kita dapati di dalamnya.

Praktik Politik Kekinian

Tidak hanya di Indonesia, tetapi praktik seperti ini juga dapat kita temui di luar negeri. Contoh Amerika sebagai negara adikuasa yang kita kenal lebih maju dalam segala bidang termasuk dalam hal demokrasi. Di negara tersebut Joseph Curl dalam “Rise of ‘Dynasty’ Quick, far-Reaching” menyebutkan bahwa keluarga Bush sebagai dinasti politik yang paling sukses dalam sejarah Amerika. Keluarga Bush menghasilkan dua presiden yakni presiden ke 41 dan presiden ke 43 AS. Selain menjadi Presiden juga keluarga Bush ada yang menjadi di Texas dan Florida.

Sebagian kalangan berpendapat bahwa dinasti seperti ini mengkhawatirkan bagi perjalanan demokrasi kita. Sebab orientasinya adalah bagaimana mempertahankan kekuasaan tersebut di lingkungan keluarga tertentu. Fasilitas yang melekat secara alamiah pada diri calon yang berasal dari keluarga petahana menjadikannya mampu dengan mudah mengungguli rivalnya pada setiap gelaran pemilihan. Peralihan kekuasaan dengan cara mengikuti kontestasi pemilihan ini yang disebutkan sebagai praktik dinasti dengan cara prosedural. 

"Subsantsinya adalah bagaimana menjadikan pemilihan menjadi ajang “fair” untuk semua orang dan memberikan ruang kepada seluruh masyarakat menggunakan haknya."
 
Jika kembali mengaitkan dengan Pilkada 2020 yang tahapannya sedang dijalankan, dengan UU Nomor 10 tahun 2016 yang dipakai sebagai rujukan maka tidak ada celah untuk menghentikan niat bakal calon yang berasal dari keluarga pejabat atau petahana. Begitu juga jika berbicara pada rancangan masa depan demokrasi kita, pada draf RUU Pemilu yang sedang menjadi pembahasan. Pada  buku ketiga Pasal 182 tentang persyaratan pencalonan tidak terdapat hal yang membatasi keluarga dari petahana untuk maju mencalonkan diri.

Sebenarnya bukan persoalan calon tersebut berasal dari keluarga pejabat atau petahana, amanah UU menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak untuk memilih dan dipilih (menurut ketentuan). Sebab hal tersebut juga menyangkut kedaulatan dan hak politik orang per orang. Tetapi subsantsinya adalah bagaimana menjadikan pemilihan menjadi ajang “fair” untuk semua orang dan memberikan ruang kepada seluruh masyarakat menggunakan haknya. 

Masyarakat dengan pengetahuan politik yang dimilikinya tentu tidak akan bisa didikte atau diintervensi oleh kekuasaan untuk memilih calon tertentu. Pengawasan yang berjalan juga tentu akan melihat dan memastikan bahwa kekuatan kekuasaan tidak untuk memobilisasi dan digunakan untuk menguntungkan calon yang berasal dari keluarga tertentu. Jika semua ini berjalan sebagaimana mestinya tentu tidak ada kekhawatiran yang berlebih terhadap dinasti politik yang sedang ramai dibicarakan.

Harapan besar kita bahwa pendidikan politik menjadi salah satu solusi dalam memberikan pencerahan kepada masyarakat. Hal tersebut dimaksudkan agar masyarakat tidak gaduh melihat jika seseorang yang berasal dari keluarga pejabat maju menggunakan haknya untuk mencalonkan diri. Sebab penentu terpilih dan tidaknya mereka ada ditangan masyarakat sebagai wajib pilih yang akan menyalurkan hak pilihnya di TPS nanti.(*)

Wednesday, July 15, 2020

Coklit dan Ikhtiar Menjaga Kedaulatan Pemilih


Tahapan pemilihan kepala daerah serentak 2020 telah memasuki masa pencocokan dan penelitian data pemilih atau lebih lazim disebut coklit. Sebelumnya KPU telah membentuk petugas pemutakhiran data pemilih atau PPDP di semua daerah yang menggelar Pilkada serentak. 

Merujuk pada Pasal 58 UU Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada yang menyebutkan bahwa DPT Pemilu terakhir menjadi sumber pemutakhiran data pemilihan dengan mempertimbangkan daftar pemilih potensial atau yang sering disebut DP4. Jika melihat dari hal tersebut tentu saja diatas kertas kita akan berpendapat bahwa tantangan pemutakhiran data tidak akan terlalu mengalami kendala sebab Pemilu terakhir kurang lebih baru setahun digelar.

Masih merujuk pada Pasal 58 ayat 3 UU Nomor 10 tahun 2016 maka KPU mengintegrasikan aturan pada PKPU tentang Pilkada dalam kondisi bencana nonalam Covid-19 yang mengatur ketentuan pemutakhiran data dan penyusunan daftar pemilih. Pada pasal 23 ayat 1 menyebutkan, PPDP melakukan coklit dengan mendata pemilih melalui rukun tetangga (RT) atau sebutan lainnya. Kondisi pandemi yang sedang melanda membuat coklit yang dilaksanakan oleh PPDP akan berbeda dengan coklit yang dilaksanakan saat event Pemilu yang lalu. 

Selaku penyelenggara teknis, KPU telah merancang sistem coklit yang dilaksanakan oleh PPDP dengan berkoordinasi awal dengan Rukun Tetangga (RT) atau sebutan lainnya. Hal ini tentu didasari dengan pertimbangan bahwa RT merupakan ujung tombak pelayan masyarakat yang paling mengenali dan memiliki data kependudukan warganya. Akurasi informasi yang dimiliki oleh RT pastinya baik dan selalu update sebab mereka selain berdomisili juga mengetahui keluar masuknya warga di wilayahnya. 

Selanjutnya dalam petunjuk yang diberikan oleh KPU terhadap PPDP dalam melaksanakan tugasnya adalah mereka dibolehkan untuk menemui Pemilih secara langsung. Hanya saja petugas coklit boleh menemui pemilih atau mengunjungi mereka dengan ketentuan syarat memakai alat pelindung diri (APD) dan mematuhi protokol kesehatan. Menjaga jarak, menghindari kontak fisik, mencuci tangan adalah hal wajib yang mesti diperhatikan oleh petugas dalam melakukan tugasnya di lapangan. Hal tersebut dilakukan demi untuk memutus mata rantai penyebaran virus covid-19.
Sehingga dengan demikian tidak ada alasan untuk meragukan akurasi pencocokan data pemilih yang dilakukan oleh PPDP, sebab mereka menemui langsung calon pemilih.

Pada masa pandemi seperti ini memang KPU dituntut untuk selalu melakukan terobosan dalam mengatasi kendala teknis yang disebabkan oleh pandemi ini. Menjamin kualitas pemilu tetap terjaga tidak cukup jika tidak memastikan keselamatan petugas yang menyukseskan tahapan di lapangan. Untuknya mesti banyak gagasan yang diberikan demi suksesnya penyelenggaraan Pilkada serentak ini. Sebagai salah satu contoh KPU menggemakan gerakan klik serentak untuk mengajak pemilih pro aktif mengecek data mereka secara mandiri melalui alamat link lindungihakpilihmu.kpu.go.id.

Sikap pro aktif dari masyarakat akan sangat membantu suksesnya pelaksanaan Pilkada serentak ini. Sebab kedaulatan pemilih dimulai dari terdatanya masyarakat dalam daftar pemilih. Dengan kesadaran untuk mengecek dan memastikan diri terdata dalam daftar pemilih ini akan meminimalisir potensi gugatan kedepannya. Sebab salah satu prinsip terselenggaranya pemilu/pemilihan yang demokratis adalah warga negaranya terdaftar sebagai pemilih tanpa diskriminasi.

Pada prinsipnya memang data pemilih memegang peranan penting bagi keberlanjutan tahapan lainnya dalam setiap menggelar pemilihan. Sebab dari data pemilih ini akan mempengaruhi pengadaan logistik pilkada, pemetaan TPS, pengangkatan badan adhock KPPS, rekapitulasi perhitungan suara dan hal teknis lainnya. Sehingga untuk itulah pendataaan pemilih yang baik menjadi salah satu kunci berhasilnya pelaksanaan pemilihan.

Menjaga Kedaulatan Pemilih di Masa Pandemi

Melaksanakan tahapan pemilihan di masa pandemi ini memang tidaklah mudah. Kepercayaan para petugas dan masyarakat untuk terlindung dari penyebaran virus-19 mesti dijaga. Sehingga kemudian semua komponen baik KPU maupun Bawaslu memastikan pelaksanaan tahapan oleh petugas harus selalu mematuhi protokol kesehatan yang telah ditetapkan pemerintah. Prinsip KPU dalam menjamin kedaulatan pemilih dengan menjamin hak pemilih menjadi hal yang penting. Sebab makna kedaulatan ada di tangan rakyat maka mereka berhak menentukan siapa yang akan menjadi pemimpinnya melalui pemilihan yang demokratis.

Sebagai sarana resmi dalam melahirkan pemimpin, memang seyogyanya Pemilihan yang digelar terjamin keamanannya dalam arti luas. Beberapa pemilu pasca reformasi menunjukkan bahwa pemilihan yang digelar di Indonesia telah menunjukkan perkembangan yang luar biasa baik. Tidak terkecuali mengenai kedaulatan dan rasa aman bagi pemilih dalam menentukan pilihannya. Namun pandemi yang melanda dunia ini memberikan cobaan baru bagi perjalanan demokrasi kita. Bencana nonalam ini merupakan tantangan yang tidak biasa yang dihadapi oleh kita semua. Semangat dalam menyukseskan tahapan harus dibarengi dengan memastikan keselamatan setiap petugas dan juga masyarakat luas. Untuk itu beban menyukseskan pemilihan ini tidak mesti hanya menjadi tanggung jawab oleh para petugas pilkada, tetapi juga semua stake holder dan masyarakat secara umum. 

Paling terakhir kita berharap, melalui pelaksanaan pencocokan dan penelitian/coklit oleh PPDP ini dapat menjamin akurasi data pemilih pilkada yang akan digelar. Kita percayakan tahapan yang berlangsung dari 15 Juli hingga 13 Agustus sebagai ikhtiar dalam menjaga kedaulatan pemilih, serta menjadi kunci untuk suksesnya pemilihan kepala daerah serentak 9 Desember 2020 mendatang. Selamat bertugas sahabat-sahabat PPDP, semoga diberi kesehatan dan keselamatan dalam menjalankan tugas. Amiiinnn... (*)

Catatan : 
*Artikel ini juga terbit di halaman media online kumparan.com dengan judul yang sama
**Penulis adalah Komisioner KPU Kab. Konawe-Sulawesi Tenggara Koordinator Divisi SDM, Parmas dan Sosdiklih

Friday, June 26, 2020

2:49 AM - No comments

Proporsional Tertutup: antara Oligarki Partai dan Pembatasan Partisipasi

Ilustrasi Pemilihan Sistem Proporsional Tertutup
Ilustrasi Pemilihan Sistem Proporsional Tertutup
(Gbr: Edit dari Tirto.id dan DetikOto) 

Evaluasi sistem pemilu terus dilakukan oleh bangsa ini untuk berbenah ke arah yang lebih baik. Penyusunan regulasi sebagai landasan dan payung hukum dalam melaksanakan perbaikan tersebut terus dilakukan. Draf Undang-Undang Pemilu (RUU) Pemilu juga sedang dalam tahap pembahasan. Sebagai bagian dari perbaikan dan hasil evalusi dari UU Nomor 7 tahun 2017 dan pelaksanaan Pemilu 2019 yang lalu. 

Jika melihat secara detail pasal demi pasal yang disajikan sebagai desain pelaksanaan Pemilu selanjutnya maka salah satu yang berbeda dari beberapa pemilu sebelumnya adalah pada bagian kedua sistem Pemilu anggota DPR Pasal 206 Ayat (1). Dituliskan bahwa “Pemilu untuk memilih Anggota DPR dilaksanakan dengan sistem proporsional tertutup”.

Kilas Balik Sistem Kepemiluan

Melihat sejarah perjalanan sistem kepemiluan yang dilakukan oleh Indonesia memang beberapa kali terjadi perubahan. Khususnya untuk sistem pemilu pada anggota DPR dan DPRD pada zaman orde baru memang menggunakan sistem proporsional tertutup. Yang artinya bahwa pada surat suara yang diterima oleh pemilih di Tempat Pemungutan Suara (TPS) hanya berisi tanda gambar partai. Sistem ini terakhir digunakan pada Pemilu tahun 1999 berdasarkan UU Nomor 3 tahun 1999. 

Kemudian berdasarkan UU Nomor 12 tahun 2003, sistem proporsional terbuka mulai dilakukan. Pada surat suara kita akan mendapati tanda gambar partai dan daftar calon legislatif. Hanya saja penentuan siapa yang akan duduk sebagai anggota legislatif terpilih sesuai dengan nomor urut caleg tersebut. Artinya peluang besar bagi caleg yang akan duduk adalah caleg dengan nomor urut paling atas. Hal tersebut kemudian dievaluasi dan mendapat perubahan pada pemilu tahun 2009, 2014 dan 2019. 

Tiga pemilu terakhir mempraktekkan sistem pemilu proporsional terbuka berdasarkan suara terbanyak. Meskipun memang merupakan tantangan tersendiri terhadap rumitnya rekapitulasi yang dilakukan saat pemilu dilaksanakan, tetapi inilah konsekuensi dari perubahan keterbukaan yang dianut pada pemilu kita.

Oligarki Partai

Banyak kalangan yang kemudian menyesalkan berubahnya dalam draf RUU sistem proporsional terbuka menjadi sistem proporsional tertutup ini. Dalih tentang semangat meminimalisir “money potilic” yang terjadi saat pemilu adalah tidak tepat. Justru hal ini adalah sebagai bentuk kemunduran pada sistem pemilu kita. Pemilu tahun 1999 dan sebelumnya masyarakat tidak pernah mengenal siapa yang akan duduk menjadi perwakilannya di DPR. Interaksi antara calon legislatif dengan masyarakat tidak terjalin. Sebab partailah penentu siapa yang akan ditunjuk menduduki kursi dan menjadi anggota DPR. Keran permainan justru akan terjadi pada internal partai. Proporsional tertutup juga tentu tidak akan mengurangi sarat terjadinya politik transaksional dan kembali menguatnya oligarki kepartaian. 

Secara umum kita mengetahui bahwa menguatnya oligarki partai (politik) akan menjadi kemunduran sistem pemerintahan. Chek and balance diantara trias politica yakni eksekutif, legilatif dan yudikatif bisa tidak lagi berjalan dengan maksimal. Sebab terminologi oligarki adalah pemerintahan yang dikendalikan oleh kelompok elit (bukan rakyat). Tentu saja dampaknya akan mengakibatkan pemerintahan yang tidak lagi pro rakyat dan tidak populis. Demikian diungkapkan Robert Michles (1915) dalam bukunya “Political Parties”. 

Kontrol masyarakat terhadap partai akan terbatas dengan sendirinya, hal ini akan berdampak kurang baik. Jika mengingat kasus Harun Masiku yang terjadi beberapa saat lalu mengindikasikan bahwa apa yang dikehendaki oleh rakyat belum tentu sejalan dengan apa yang dikehendaki parpol. Adanya upaya merubah rekomendasi Pergantian Antar Waktu (PAW) dari urut suara terbanyak selanjutnya kepada yang jauh lebih sedikit dibawahnya. 

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa partai lebih mengetahui kualitas kader yang dimilikinya. Banyaknya caleg yang secara intsant bergabung dengan mengandalkan popularitas tentu menjadi pesaing bagi kader yang selama ini membesarkan partai. Tetapi bagi masyarakat dan wajib pilih komunikasi yang terbangun antara caleg dan masyarakat serta kedekatan secara emosional adalah salah satu faktor dalam menentukan pilihan. Untuk itu masyarakat harusnya mengenal siapa yang akan duduk mewakilinya dilegislatif sebagai perwujudan sistem pemilu kita. 

Pembatasan Partisipasi

Jika mengacu pada prinsip demokrasi yang mengutamakan partisipasi rakyat seluas-luasnya maka sistem proporsional terbuka akan lebih tepat dan tetap harus dipertahankan. Sebab pemilih tahu dan menentukan pilihan pada siapa yang dikehendakinya. Proporsional tertutup bisa saja akan mengurangi partisipasi publik terhadap pemilu. 

Pertama adalah tentang partisipasi masyarakat untuk maju menjadi calon legislatif. Seseorang yang oleh masyarakat dianggap mampu membawa aspirasi untuk duduk menjadi anggota DPR bisa saja urung untuk berpartisipasi. Sebab minat untuk maju pasti akan tersandera oleh pemikiran bahwa penentu yang menduduki kursi adalah partai bukan rakyat. 

Partisipasi berikutnya adalah partisipasi pemilih pada pelaksanaan Pemilu. Stigma negatif terhadap partai politik memang masih ada disebagian kalangan masyarakat. Ditambah lagi dengan sistem tertutup seperti ini masyarakat akan berfikir bahwa siapa saja yang akan duduk menjadi anggota DPR setelah suara partai dikonversi menjadi kursi sudah dapat diprediksi jauh-jauh hari. Komunikasi yang terbangun antara pemilih dan calon legislatif tentu tidak akan maskimal seperti pada Pemilu dengan sistem terbuka. Sehingga akan menimbulkan sikap apatisme masyarakat terhadap gelaran Pemilu yang akan digelar, yang ujungnya akan mengurangi tingkat partisipasi pemilih yang telah dicapai pada pemilu sebelumnya.

Padahal jika melihat rilis yang disampaikan oleh Litbang Kompas dengan mengambil sampel di 33 provinsi di Indonesia hanya ada 18.1% masyarakat yang memilih partai politik saja tanpa melihat siapa calegnya, sedangkan yang memilih calegnya saja ada 21.2%. Sementara yang memilih karena keduanya adalah 56.8%. Survei lainnya menunjukkan perbandingan yang sangat besar antara yang memilih caleg berdasarkan nomor urut 6.5% sedangkan yang memilih karena mengenal atau mengetahui caleg tersebut ada 84.1%. Hal tersebut diatas memberikan gambaran yang sangat jelas bahwa masyarakat perlu mengetahui siapa yang akan mewaikilinya. Jangan sampai malah terkesan seperti membeli kucing dalam karung. 

Akhirnya jika kita sepakat untuk berpihak pada kedaulatan pemilih, maka tentu kita akan mempertahankan sistem pemilihan dengan proporsional terbuka. Perjalanan demokrasi kita terus yakini berada pada jalur menuju kesempurnaan. Olehnya itu evaluasi yang dilakukan harusnya menitik beratkan terhadap hal-hal yang perlu mengalami perbaikan saja. Bukan kemudian mengurangi apa yang telah dicapai sebelumnya. Sebab dengan proporsional terbuka maka sebenarnya kita sedang mempertahankan implementasi dari salah satu asas pemilu yang Luber Jurdil (Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil).(*)

Saturday, June 13, 2020

1:49 AM - No comments

Menjaga Partisipasi Pemilih di Masa Pandemi



Oleh : Andang Masnur 
(Komisioner KPU Kab Konawe) 

Keputusan menggelar Pilkada pada 9 Desember 2020 ditengah upaya memerangi covid 19 mendapat beragam tanggapan dari berbagai kalangan. Tahapan Pilkada segera akan kembali dilanjutkan pada pertengahan Juni ini. Penyelenggara teknis pemilihan yakni KPU tengah merampungkan Peraturan KPU terkait tahapan dan jadwal Pilkada tersebut. Jika tidak ada aral melintang maka penyelenggara adhock yang telah dibentuk sebelumnya dan akhirnya dinonaktifkan akibat wabah akan segera diaktifkan lagi dan melanjutkan kerja mereka.

Dari berbagai tantangan yang akan dihadapi saat menggelar Pilkada ditengah pandemi ini salah satunya adalah mengenai kualitas penyelenggaraan dalam hal tingkat partisipasi masyarakat atau partisipasi pemilih. Dikhawatirkan dengan adanya pandemi covid 19 akan mempengaruhi tingkat partisipasi pemilih di TPS pada saat Pilkada digelar nanti.

Faktor Pandemi

Tentu saja wabah covid yang menyerang hampir seluruh negara di dunia ini mengakibatkan perubahan hidup yang besar. Termasuk dengan perubahan rancangan kampanye yang direncanakan tidak akan menggunakan metode tatap muka atau kampanye akbar. Sosialisasi dan penyampaian visi-misi dimungkinkan akan dilakukan dengan metode selebaran gambar atau spanduk. Hal ini didasari karena mempertimbangkan protocol kesehatan yang harus dilaksanakan demi memutus pandemi virus covid 19. Metode seperti ini tentu mempengaruhi euphoria masyarakat dalam menyambut Pilkada. Keterbatasan akses seperti ini juga menghambat tersampaikannya visi-misi kandidat sampai kepada wajib pilih. Hal tersebut tentu akan menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi ketertarikan masyarakat khususnya wajib pilih untuk datang menyalurkan hak pilihnya di TPS. 

Berikutnya adalah kekhawatiran kesehatan masyarakat. Kebiasaan beraktifitas dari dalam rumah akibat sosial distancing dan pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di sebagian daerah membentuk kebiasaan baru bagi masyarakat. Orang-orang akan merasa lebih aman jika berada di dalam rumah dari pada harus keluar pada kerumunan orang banyak. Rasa trauma juga tentu akan mendera sebagian masyarakat kita melihat banyaknya kejadian dan berita mengenai covid 19 ini. Diketahui dari beberapa daerah yang menggelar Pilkada 2020 ini beberapa diantaranya justru yang ikut memberlakukan PSBB. Penyebab hambatan selanjutnya adalah kondisi kesehatan wajib pilih. Tidak menuntut kemungkinan saat pelaksanaan Pilkada nanti digelar masih ada masyarakat atau wajib pilih yang sedang menderita atau terpapar virus corona. Meskipun secara teknis nanti kemungkinan akan tetap dirancang cara mereka menyalurkan hak pilih.

Beda Pilpres Beda Pilkada

Optimisme penyelenggara dalam mendulang sukses pelaksanaan Pilkada bisa dengan mengambil acuan saat gelaran Pemilu 2019 yang lalu. Trend positif kenaikan angka partisipasi menjadi salah satu catatan terbaik bagi para penyelenggara. Partisipasi pemilih dengan angka 82,15% menjadi angka yang tergolong fantastis. Sebab pada pemilu sebelumnya yakni 2009 angka partisipasi berada hanya diangka 71,7% dan Pemilu 2014 diangka 75,11%. Namun apakah angka partisipasi pemilih Pemilu dapat sama dengan angka partisipasi Pilkada? Jawabannya bisa iya bisa tidak. Salah satu penyebabnya adalah perbedaan jumlah kontestan. Kita tentu paham bahwa jumlah kontestan Pemilu lebih banyak dari pada kontestan atau peserta dalam gelaran Pilkada. Jumlah peserta yang banyak turut membentuk tim dan simpatisan yang banyak ditengah-tengah masyarakat. Hal ini kemudian menjadi salah satu “mesin penggerak” bagi masyarakat untuk ikut berpartisipasi menyalurkan hak pilih saat pemilihan digelar. 

Sebaliknya saat Pilkada jumlah peserta yang terbilang kecil antara dua sampai lima pasang saja. Hal ini mempengaruhi mobilisasi dukungan masyarakat terhadap salah satu calon. Meskipun di sebagian daerah memang Pilkada lebih memantik suhu politik dari pada pemilihan lainnya. Tetapi gelaran Pemilu serentak tahun 2019 lalu yang menggabungkan Pilpres dan Pilcaleg menunjukkan peningkatan partisipasi meningkat tajam seperti yang telah disebutkan diatas. Hal lain yang membedakaan adalah durasi kampanye pada Pemilu yang terbilang cukup panjang dan kemudian me-massif-kan kampanye sehingga tersampaikan dengan baik kepada masyarakat. Gelaran Pemilu yang mencakup skala Nasional juga menjadi pembeda dengan Pilkada meskipun serentak tetapi hanya digelar di 270 daerah se Indonesia tahun ini. Hal-hal tersebut tentu mempengaruhi keterlibatan masyarakat dan partisipasi pemilih di TPS nanti.

Upaya dan Harapan

Pertama tentu adalah sosialisasi oleh penyelenggara Pilkada. Pergeseran Pilkada tanggal pelaksanaan dari 23 September ke tanggal 9 Desember 2020 perlu diperkuat. Sebagian masyarakat mendengar dan mengetahui terjadi penundaan Pilkada, tetapi belum tentu mengetahui bahwa pemerintah berkomitmen melanjutkan tahapan dan tetap menggelar pada tahun ini. Keterbatasan sosialisasi secara langsung atau tatap muka di semua segmen pemilih yang dalam UU No 7 tahun 2017 membagi 11 basis memang menjadi kendala. Tetapi dengan menggunakan media gambar, pamflet, brosur dan spanduk bisa memperkuat sosialisasi. Memanfaatkan media elektronik juga bisa membantu menjaga partisipasi Pemilih. Sosialisasi tahapan melalui radio dan televisi contohnya. 

Hal lain yang bisa membantu adalah dengan membentuk Relawan Demokrasi (Relasi) seperti pada Pemilu yang lalu. Meskipun hanya pada satu basis yakni basis warganet (internet) tetapi hal ini bisa menjadi maksimal. Mengingat hampir sebagian besar masyarakat aktif dan bahkan lebih aktif menggunakan media sosial internet saat masa pandemi ini. Kelemahannya memang ada yakni tidak semua warga terjangkau oleh sinyal dan bisa mengakses sosialisasi tersebut. Tetapi setidaknya informasi yang disebar melalui daring (dalam jaringan) tersebut bisa menjadi embrio untuk massifnya sosialisasi tahapan dan pelaksanaan Pilkada serentak masa pandemi ini.

Kedua kita tentu berharap peran aktif stake holders dalam membantu sosialisasi tahapan dan jadwal pelaksanaan Pilkada serentak. Sebagaimana halnya peran pemerintah saat Pemilu yang lalu kita mengaharapkan hal yang sama saat Pilkada digelar. Kedekatan pemerintah dari bawah sampai atas dengan masyarakat akhir-akhir ini akibat covid tidak dapat diragukan. Sebab upaya pemerintah dalam menstimulus kebutuhan masyarakat dengan memberikan bantuan sangat berpengaruh. Hal tersebut bisa digunakan sebagai media dalam memberikan informasi pelaksaaan Pilkada. Meskipun secara jujur keran politisasi terhadap bantuan yang disalurkan memang terbuka. Tetapi dengan pengawasan yang kuat kita berharap itu tidak akan terjadi.

Paling penting dari keterlibatan stake holder lainnya adalah soal penjaminan keselamatan dan kesehatan masyarakat. Dukungan berupa tenaga dan alat bantu kesehatan yang sesuai dengan protokol kesehatan dapat membantu kepercayaan masyarakat untuk datang ke TPS menyalurkan hak pilih. Sebaliknya jika tidak ada jaminan dan dukungan seperti itu bisa membuat masyarakat khawatir terpapar dan tidak bersedia mendatangi TPS. Walaupun KPU dalam perjalanan persiapannya merancang Pilkada dimasa pandemi ini dengan mempersiapkan kebutuhan alat yang sesuai dengan protokol kesehatan, tetapi sokongan dan dukungan dari stake holder dalam hal ini tenaga medis akan sangat membantu. 

Pada akhirnya jika melihat negara satu-satunya yang menggelar Pemilu di masa pandemi adalah Korea Selatan. Pertama dalam sejarah sejak 28 tahun menggelar Pemilu justru di masa pandemi ini mampu mendulang angka partisipasi tertinggi. Partisipasi pemilih pada Pemilu yang digelar pada awal April lalu 66.2% atau 29.1 juta wajib pilih dari 44 juta pemilih yang terdata. Artinya optimisme dalam menjaga partisipasi pemilih di masa pandemi ini tidak boleh kendor. Sosialisasi dan penjaminan keselamatan bagi masyarakat dengan tetap mengacu pada protokol kesehatan akan menjadi kunci. Harapan kita Pilkada 2020 dapat berjalan sukses dengan angka partisipasi tetap di atas 75%. Selain itu pula keselamatan penyelenggara dan masyarakat harus terjamin, sehingga tidak ada istilah “klaster pilkada” pada masa dan sesudah Pilkada 2020 dilaksanakan.


*Sebelumnya atas izin penulis artikel ini juga telah diterbitkan oleh kumparan.com dan timesindonesia.co.id

Saturday, May 16, 2020

12:36 AM - 2 comments

Mengukur Kepastian Pelaksanaan Pilkada



Oleh : Andang Masnur

Dikeluarkannya PERPPU Nomor 2 Tahun 2020 menjadi dasar baru pelaksanaan Pilkada setelah penundaan akibat covid 19. Ada 270 daerah di Indonesia yang telah menunda semua tahapan pelaksanaan dan begitu menunggu terbitnya Perppu tersebut. Perppu tersebut memuat pasal-pasal yang menjadi rujukan penundaan, pelaksanaan sekaligus mempertimbangkan penundaan ulang apabila wabah covid belum berakhir di tanah air. Tapi apakah Pasal 201 A ayat (2) yang menyebutkan bahwa pelaksanaan pemungutan suara digelar pada bulan Desember 2020 ini sudah pasti akan terlaksana? 

Jalan Panjang PERPPU 
Perlu untuk diketahui bahwa dengan diterbitkannya Perppu Nomor 2 sebagai pengganti ketiga atas UU Nomor 1 tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota tidak serta merta membuatnya menjadi pedoman baku oleh penyelenggara Pilkada. Sejak diteken pada 4 Mei yang lalu Perppu tersebut belum bisa dikatakan berlaku. Tetapi menurut ketentuan bahwa Perppu harus mendapatkan persetujuan dari DPR RI untuk kemudian diundangkan. 

Kendalanya adalah tentang kesiapan lembaga legislatif tersebut untuk mengagendakan sidang membahas hal tersebut. Melihat agenda sidang yang dilaksanakan oleh DPR, masa sidang ke tiga telah selesai dilaksanakan. Sidang yang dilaksanakan dari tanggal 13 sampai 15 Mei menghasilkan beberapa keputusan seperti pengesahan PEPPU Nomor 1 tahun 2020 menjadi UU, usulan UU Minerba dan UU Haluan Ideologi Pancasila (HIP). Dari persidangkan tersebut belum menyentuh Perppu Nomor 2 tahun 2020 ini. Sedangkan DPR telah memasuki masa reses untuk kemudian masuk dan menjadwalkan masa sidang selanjutnya nanti di tanggal 14 Juni 2020. Jika kemudian DPR baru mengagendakan pembahasan di sidang berikutnya artinya bahwa paling cepat DPR mengudangkan Perppu ini di akhir Juni. Hal tersebut dapat menghambat penyusunan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) yang akan dijadikan petunjuk penyelenggara di tingkat daerah dalam hal ini KPU dan jajaran dalam melaksanakan tahapan. Berikutnya yang kemudian bisa menghambat adalah adanya perbedaan pendapat di DPR yang bisa membuat dinamika persetujuan Perppu ini terhambat. Jika hal tersebut terjadi maka akan lebih menghambat kesiapan penyelenggara memulai tahapan Pilkada.

Kita belum berbicara penolakan atau adanya gugatan yudicial review yang diajukan ke MK jika Perppu ini telah diundangkan. Meskipun bisa saja terjadi tetapi masa reses dan dinamika persidangan diatas sudah cukup menghambat dimulai-lanjutkannya tahapan yang sudah dimulai sejak akhir tahun 2019 lalu dan sekarang sedang ditunda akibat covid 19.

Jika Wabah Belum Berakhir 
Pada pasal 201 A ayat (3) disebutkan bahwa "Dalam hal pemungutan suara serentak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat dilaksanakan, pemungutan suara ditunda dan dijadwalkan kembali segera setelah bencana non alam sebagaiamana ayat (1) berakhir, melalui mekanisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 A".

Artinya bahwa sifat dari penundaan yang dimaksud dalam Perppu tersebut dapat dikatakan bersifat fleksibel”. Apabila bencana non alam atau wabah yang sedang melanda dunia dan khususnya Indonesia ini berakhir. Jika tidak maka potensi penundaan akan sangat mungkin dilakukan hingga tahun depan. 

Kita kembali melihat angka yang disajikan oleh BNPB selaku satgas covid dimana per tanggal 14 Mei 2020 jumlah pasien positif yang menembus angka 16.006, sembuh 3.518 dan meninggal 1.043. Masih sangat tinggi dan terus saja bertambah dari hari ke hari. Jika kemudian kita berspekulasi tentang target pemerintah bahwa Mei ini jumlah penderita akan menurun saya kira masih sangat sulit untuk memastikannya. Sementara itu percepatan penelitian laboratorium di seluruh dunia dalam menemukan vaksin virus covid 19 ini belum juga memberikan harapan pasti. Sebab jika vaksin telah ditemukan maka covid ini hanya kana menjadi sperti penyakit biasa yang tidak akan menimbulkan efek yang begitu besar seperti ini.

Pada akhirnya tidak ada yang lebih utama pada saat sekarang ini selain keselamatan manusia. Jika memang kondisi pada periodesasi Mei hingga Juni angka penderita covid masih besar atau pun juga masih bertambah maka meninjau ulang untuk kemudian menunda hingga wabah ini benar-benar berakhir adalah hal yang paling bijak. Masih ada dua opsi penundaan yang disampaikan oleh KPU RI sebelumnya yakni tanggal 17 Maret 2021 dan tanggal 29 September 2021. Sekali lagi “salus populi suprema lex esto. (*)

Tuesday, May 12, 2020

3:01 PM - No comments

Menimbang Keselamatan Petugas Pilkada 2020

Andang Masnur (sumber: www.timesindonesia.co.id)

Optimisme pemerintah dalam mengakhiri masa pandemi covid 19 di tanah air jelas terlihat. Kebijakan yang sifatnya mengarah pada “konser kemenangan” melawan wabah ini secara berangsur mulai dikeluarkan. Penolakan pemberlakuan PSBB disebagian daerah, dibolehkannya kendaaraan umum beroperasi dan pelonggaran beraktifitas di luar rumah bagi masyarakat yang usianya dibawah 45 tahun adalah contohnya. Begitu juga terhadap keberlangsungan demokrasi dengan dikeluarkannya PERPPU Nomor 2 tahun 2020 yang merupakan pengganti ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati  dan Wali Kota.

Kita ketahui bersama sejak akhir tahun 2019 tabuh kompetisi di 270 daerah yang akan menggelar Pilkada telah dimulai. KPU selaku penyelenggara tekhnis telah memulai tahapan setidaknya sampai pada pembentukan badan adhock yakni PPK dan PPS di tingkat kecamatan dan desa/kelurahan. Sampai pada akhirnya wabah datang melanda dan semua tahapan terpaksa ditunda pelaksanaannya. Substansi dari dikeluarkannya Perppu tersebut diatas salah satunya adalah menjadwalkan pelaksanaan Pilkada yang tadinya digelar September menjadi Desember 2020. 

Penjadwalan ulang yang tertuang dalam Perppu tersebut yang menempatkan Pilkada digeser hanya tiga bulan dari jadwal sebelumnya juga saya anggap bagian dari kampanye optimisme pemerintah dalam memerangi covid 19. Pengalaman penanganan wabah di berbagai negara membagi fase kondisi menjadi 3, yaitu masa kritis, masa akhir dan masa normal. Jarak antara masa akhir dan masa normal memerlukan waktu kurang lebih 6 bulan. Nah apakah masayarakat kita terutama para petugas yang terlibat dalam pelaksanaan Pilkada ini terjamin keamanannya dari virus ini saat Pilkada digelar Desember?

Jika melihat kondisi data yang disampaikan oleh pemerintah terkait jumlah penderita positif, PDP maupun ODP tentu masih sangat besar. Ditambah lagi dengan masih munculnya klaster-klaster baru di beberapa daerah. Pandemi ini masih sangat sulit kita prediksi kapan akan benar-benar berakhir. Jika melihat persiapan pelaksanaan Pilkada pada umumnya tentu akan banyak melibatkan interaksi baik penyelenggara/petugas, peserta maupun masyarakat umum.

Logistik pilkada yang meliputi surat suara, formulir-formulir, alat kelengkapan coblos di TPS adalah logistik  yang tidak diproduksi secara mandiri di tiap KPU daerah masing-masing. Tetapi pengadaannya melibatkan perusahaan atau pabrik dengan jumlah karyawan yang tidak sedikit. Tentu saja jika belum seutuhnya aman dari penyebaran virus, perusahaan bisa saja masih meliburkan para pekerjanya. Hal ini bisa menghambat tersedianya logistik Pilkada. Hal yang sama juga berpotensi terjadi pada pendistribusian logistik yang telah diproduksi ke daerah-daerah yang menggelar Pilkada. Jika wabah belum berakhir maka logistik bisa saja terlambat tiba di daerah dan terhambat didistribusi ke TPS.

Hal lain yang patut menjadi pertimbangan menurut saya adalah keselamatan para petugas Pilkada. Ada banyak rutinitas yang akan dilaksanakan oleh mereka yang mengharuskan berinteraksi dengan orang banyak. Pendataan wajib pilih oleh petugas yang mengunjungi rumah-rumah warga. Sosialisasi pelaksanaan Pilkada yang harus massif dilaksanakan akibat adanya pergeseran tanggal dan bulan pelaksanaan. Bimbingan teknis dan pelatihan kepada para penyelenggara yang bertugas di TPS. Sampai pada hari H pelaksanaan Pilkada dan pleno rekapitulasi ditiap jenjangnya. Kesemuanya melibatkan petugas serta masyarakat secara luas dan jika wabah belum berakhir maka berpotensi menjadi sarana penyebaran virus yang baru.

Jika melihat jumlah petugas yang sakit dan meninggal dunia pada Pemilu yang lalu tentu kita semua sangat prihatin atas hal tersebut. Kita tidak menginginkan tingginya angka tersebut terulang pada pelaksanaan Pilkada kali ini akibat resiko penyebaran virus covid 19 yang belum benar-benar berakhir. 

Sebab jika menyimak informasi yang beredar, China yang terlebih dahulu mengumumkan kemenangan terhadap wabah ini masih juga menemukan kasus positif yang baru. Mengutif kata Dosen Unsrat, Ferry D. Liando bahwa ciri demokrasi adalah kompetisi, namun jangan sampai mengabaikan aspek kemanusiaan. (*) 

Penulis: Andang Masnur adalah Komisioner KPU Kab. Konawe - Sulawesi Tenggara

Monday, May 11, 2020

6:59 AM - No comments

Gelap-Terang Pelaksanaan Pilkada Diantara Wabah


Andang Masnur


Pasal 201 A Ayat (1) : "Pemungutan suara serentak sebagaimana Pasal 201 ayat (6) ditunda karena terjadi bencana non alam sebagaimana Pasal 120 ayat (1)"
 
Kepastian penundaan dan pelaksanaan Pilkada 2020 akhirnya terjawab. Senin 4 Mei Presiden meneken Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau PERPPU Nomor 2 Tahun 2020 yang isinya tentang penundaan Pilkada. Setelah sebelumnya KPU menyodorkan opsi usulan penundaan dan kemudian ditindaklanjuti oleh pemerintah yang menggelar Rapat Dengar Pendapat bersama stakeholder terkait. Pada agenda RDP yang digelar April lalu tersebut membuahkan kesimpulan penundaan Pilkada akan dilaksanakan pada 9 Desember 2020.

Nampaknya apa yang telah disimpulkan dalam RDP tersebut menjadi masukan penting keluarnya Perppu. Pasal 201 Ayat 2 menyebutkan hal yang senada bahwa "Pemungutan suara yang ditunda sebagaimana ayat (1) dilaksanakan pada bulan Desember 2020". Akhirnya apa yang diresahkan oleh para penyelenggara dan pegiat pemilu tentang adanya kekosongan regulasi yang terjadi setelah KPU memutuskan menunda pelaksanaan tahapan Pilkada ini terjawab.

Tapi apakah permasalahan dianggap selesai?  Nampaknya belum. Pada ayat berikutnya ayat (3) masih dalam Pasal 201 A disebutkan "Dalam hal pemungutan suara serentak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat dilaksanakan, pemungutan suara ditunda dan dijadwalkan kembali segera setelah bencana non alam sebagaiamana ayat (1) berakhir, melalui mekanisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 A".

Artinya bahwa sifat dari penundaan yang dimaksud dalam Perppu tersebut dapat dikatakan bersifat fleksibel”. Apabila atau dengan ketentuan bencana non alam atau wabah yang sedang melanda dunia dan khususnya Indonesia ini berakhir. Jika tidak maka potensi penundaan akan sangat mungkin dilakukan hingga tahun depan. 

Saya tertarik dengan diksi bencana non alam berakhir pada ayat (3) Pasal 201 A diatas. Sebab indikator berakhirnya bencana non alam ini begitu banyak. Efek yang ditimbulkan akibat wabah ini mengguncang semua sendi kehidupan. Termasuk jika menyoal tentang kondisi stabilitas sosial, politik, ekonomi dan keuangan negara dan daerah tidak terkecuali 270 daerah yang menyelenggarakan Pilkada. 

Jika melihat kondisi sekarang yang sedang terjadi pemerintah masih berkutat dengan masalah kekurangan APD, rapid dan swab test, atau juga aturan dibolehkan atau tidaknya masyarakat mudik saat pandemi. Jumlah pasien terkonfirmasi positif covid 19 juga masih terus bertambah. Angka kematian pasien positif atau pun juga PDP tiap hari ada saja. Meskipun angka kesembuhan jauh lebih besar jumlahnya dari yang meninggal dunia. Tetapi jangan lupa ditiap daerah klaster-klaster terbaru juga bertambah. Artinya bahwa wabah virus ini masih sulit dikendalikan penularannya hingga hari ini. Padahal aturan PSBB disebagian daerah telah diberlakukan sejak beberapa minggu yang lalu. 

Kita kembali melihat angka yang disajikan oleh BNPB selaku satgas covid dimana per tanggal 10 Mei 2020 angka positif 14.032, PDP 29.690 dan ODP 246.847. Masih sangat tinggi dan terus saja bertambah dari hari ke hari. Jika kemudian kita berspekulasi tentang target pemerintah bahwa Mei ini jumlah penderita akan menurun saya kira masih sangat sulit untuk memastikannya. Sementara itu percepatan penelitian laboratorium di seluruh dunia dalam menemukan vaksin virus covid 19 ini belum juga memberikan harapan pasti. Sebab jika vaksin telah ditemukan maka covid ini hanya kana menjadi sperti penyakit biasa yang tidak akan menimbulkan efek yang begitu besar seperti ini.

Persiapan penyelenggaran pemungutan suara serentak oleh 270 daerah yang menggelar Pilkada 2020 ini tentu tidak sederhana. Ada banyak persiapan tekhnis yang harus dilakukan oleh penyelenggara dalam hal ini KPU dan jajarannya yang melibatkan orang banyak. Tentu saja hal ini menciptakan ruang konsolidasi dan mobilisasi orang maupun logistik antar daerah dan bahkan antar pulau. Persiapan pendataan wajib pilih oleh para PPDP, kampanye dan sosialisasi oleh peserta Pilkada, penyediaan dan sortir logistik oleh penyelenggara, sampai pada hari H pelaksanaan pemungutan hingga rekapitulasi suara. Hal tersebut bisa memicu potensi besar penyebaran virus yang baru dan menambah klaster baru. 

Dari perspektif kualitas tentu ini akan menjadi pertaruhan yang sangat besar bagi KPU. Bagaimana tidak trend positif yang dibangun oleh KPU kepada masyarakat dalam melaksanakan Pemilu 2019 dapat berjalan dengan sukses. Salah satunya adalah partisipasi yang tinggi oleh masyarakat saat Pemilu yang lalu belum tentu akan terjaga jika Pilkada digelar saat wabah masih melanda. 

Begitu juga dengan pertimbangan stabilitas ekonomi negara dan terkhusus daerah yang menggelar pemilihan. Negara dan daerah harus menyetel sedemikian rupa penganggaran demi memberikan bantuan kepada masyarakat terdampak covid. Apakah anggaran untuk membiayai Pilkada masih utuh tersedia? Sebab jika melihat pelaksanaan Pemilu yang dilakukan oleh Korea Selatan ditengah pandemi tentu akan terjadi penambahan anggaran lagi. Hal ini disebabkan oleh adanya penambahan alat yang sesuai dengan protap pencegahan covid 19. 

Pada akhirnya tidak ada harapan lain bagi kita semua bahwa, tidak ada yang lebih utama selain keselamatan manusia pada saat sekarang ini. Jika memang kondisi pada periodesasi Mei hingga Juni angka penderita covid masih besar atau pun juga masih bertambah maka meninjau ulang untuk kemudian menunda hingga wabah ini benar-benar berakhir adalah hal yang paling bijak. Masih ada dua opsi penundaan yang disampaikan oleh KPU RI sebelumnya yakni tanggal 17 Maret 2021 atau menunda hingga pada tanggal 29 September 2021. Sekali lagi “salus populi suprema lex esto. Semoga negeri ini segera terbebas dari wabah virus covid 19 ini. Aamiiiinnn....

*Penulis adalah Komisioner KPU Kab. Konawe 


Friday, March 13, 2020

10:01 PM - No comments

Teror Corona, Ramadhan dan Muhasabah Diri

Seperti cerita yang tidak ada habisnya, teror virus corona terus menjadi momok yang menakutkan. Setiap harinya jumlah orang yang terjangkit terus bertambah, dari yang suspect, positif sampai korban yang meninggal dunia.

Terbaru informasi mencengangkan dari sebuah rumah sakit di Jakarta mengumumkan bahwa adanya pasien yang positif corona lalu melarikan diri dari ruang isolasi. Disebutkan bahwa pasien tersebut keluar tanpa izin dijemput oleh keluarganya dan tidak ditahu keberadaannya hingga kini.

Kejadian tersebut terjadi seminggu yang lalu. Tetapi kenapa pihak RS baru mengumumkannya kemarin (jumat) kepada masyarakat? Bagaimana jika pasien tersebut menulari orang-orang terdekatnya. Lalu menyebar dan menjangkiti orang-orang di sekitar.

Meskipun beberapa saat setelah konferensi oleh pihak RS kemudian disahuti oleh protokol Covid-19 pemerintah bahwa pasien tersebut telah di evakuasi ke RSPI. Tetapi kita patut curiga, mengapa hal ini baru terungkap kemarin padahal sudah seminggu kejadiannya. Lalu apakah pernyataan protokol tersebut hanya untuk membuat masyarakat tidak panik. Jika memang telah dievakuasi mengapa pihak RS masih mengumumkan hal tersebut? Kita benar-benar dalam posisi yang gelisah akibat virus ini.

Badan Intelejen Negara atau BIN kemarin melansir bahwa puncak penyebaran virus corona ini berlangsung 60-80 hari ke depan. Yang artinya bahwa ramadhan tahun 2020 di tanah air kita masih akan ditemani dengan isu  penyebaran corona ini.

Melihat aktivitas yang dilakukan oleh sebagian masyarakat Indonesia memang sebagian besar masih berjalan normal. Tetapi apakah kita menjamin bahwa di sekitar kita tidak ada orang yang terpapar. Atau apakah kita yakin bahwa kota atau tempat yang kita kunjungi 0 kasus corona.

Sebaiknya pemerintah segera membuat maping, bisa berupa list daerah yang berkategori waspada dan darurat/kategori keadaan luar biasa. Contoh di beberapa kota yang telah ada kasus positif dan korban meninggal seperti Solo harusnya diumumkan sebagai daerah yang darurat corona.

Pelibatan BIN sebagai komponen dalam memperoleh informasi sudah sangat tepat.  Data yang diperoleh pemerintah harus segera ditindaklanjuti dibuatkan kebijakan yang lebih serius. Apakah ada daerah yang sementara ini diisolasi untuk mencegah penyebaran. Aktifitas belajar anak sekolah, karyawan atau pegawai diliburkan.

Apalagi jika benar data dari BIN tentang puncak penyebaran itu ada di bulan April dan Mei, kita tahu bersama bahwa tradisi mudik kita dalam berpuasa dan lebaran tidak bisa lepas dari masyarakat kita.

Mobilisasi dalam rangka silaturahmi masyarakat Indonesia khususnya yang beragama Islam sangat tinggi. Tidak hanya pada saat lebaran, tetapi banyak aktifitas yang dilaksanakan diluar rumah oleh masyarakat. Misalnya para ibu-ibu yang mesti belanja kebutuhan di pasar-pasar atau pelaksanaan sholat tarawih berjamaah di masjid-masjid.

Melihat "mati"nya aktifitas di beberapa negara ini membuat kita mesti membuka mata. Kemewahan dan kemegahan yang dilancarkan seperti tidak ada artinya. Teknologi, ekonomi dan kekuatan militer yang membuat sebuah negara tampak digdaya harus runtuh.

Tuhan menunjukkan kuasanya kepada semua orang. Bahwa tidak ada kekuatan dimuka bumi ini yang mampu menandingi kuasanya. China yang terlihat seperti kekuatan baru dunia kerepotan mengurusi jutaan warganya.

Perhelatan spektakuler kompetisi sepakbola di eropa yang mampu membuat kita terjaga sepanjang malam harus dihentikan. Satu dua pemain-pemain bintang dengan perlengkapan safety dan pola hidup sehat yang kita tidak menyangka mereka terjangkit ternyata salah. Para pejabat tinggi negara di beberapa negara seperti Iran, Inggris dan Italia pun juga dinyatakn positif terjangkit.

Siapa saja punya peluang yang sama terjangkit corona. Saatnya kita refleksi diri, tentang apa yang selama ini kita perbuat. Gaya hidup yang berlebihan mungkin mesti dievaluasi. Saat kita sibuk dan fokus mengejar dunia, kita malah menyepelekan aspek-aspek religi.

Bagi umat muslim, ramadhan yang akan segera datang bisa menjadi ajang yang tepat untuk ber muhasabah. Sebab ada Tuhan yang lebih kuasa di atas segalanya. Semoga kita semua, keluarga kita dan orang-orang yang kita cintai terhindar dari virus ini.

Sunday, March 8, 2020

9:39 AM - No comments

Reuni di Stamford Bridge, Chelsea Permalukan Ancelotti


Setelah pekan lalu bermain imbang di kandang Bournemouth dengan skor 2-2, kali ini Chelsea mengukir kemenangan besar di kandang sendiri.

Skor 4-0 melawan Everton menandai apiknya permainan anak asuh Lampard di hadapan para pendukungnya. Gol pertama Chelsea di cetak oleh gelandang M. Mount di menit 14'. Selanjutnya Pendro mencatatkan namanya di papan skor di menit ke 21' saat membawa klubnya unggul di babak pertama dengan skor 2-0.

Permainan anak asuh Carlo Anceloti di babak kedua juga masih sulit untuk berkembang. Serangan demi serangan yang dilancarkan Pedro dkk menghasilkan gol ketiga. Willian mencetak gol apik di menit 51'. Pesta gol di kandang sendiri itu di ditutup oleh penyerang anyar asal Francis, Oliver Girroud empat menit setelah gol ketiga.

Turun dengan formasi 4-3-3 para pemain Chelsea menguasai permainan dengan baik. Dengan penguasaan bola mencapai angka 61% Chelsea berhasil melesakkan tendangan ke arah gawang Everton sebanyak 11 tendangan.

Sementara Sigurdsson dkk hanya mampu melesakkan 3 tendangan dan hanya 1 yang mampu mengenai sasaran.

Hasil ini membuat Chelsea bertahan di peringkat 4 dan mengamankan posisi big four Liga Inggris. Sekaligus menjauhkan diri dari peringkat Wolves di bawahnya dengan selisih 5 poin.

Hasil ini juga terus menjaga ambisi Lampard untuk naik ke tiga besar klasemen mengejar Leichester yang tepat berada di atas mereka dengan selisih dua point. Meskipun Leichester baru akan memainkan pertandingan ke 29 mereka melawan Aston Villa dini hari nanti.

Sementara Everton berada di papan tengah klasemen yakni peringkat 12 dengan koleksi poin 37.

Saturday, March 7, 2020

7:06 AM - No comments

Cerpen Populer : "GAGAL POLIGAMI"


Padahal sudah sangat sepi karena malam yang sudah larut. Mas Imam pergi begitu saja setelah bertengkar dengan istrinya Mba Tati barusan.

Awalnya semua normal saja hari ini. Tetapi setelah makan malam Mas Imam memulai pembicaraan yang serius dengan Mba Tati di ruang tengah. Mereka hanya tinggal berdua di sebuah rumah yang termasuk mewah kompleks. Sesekali ada Bu Tri yang datang membantu bersih-bersih di rumah mereka.

"Saya mau bicara sesuatu sama kamu," Mas Imam membuka pembicaraan dengan wajah yang terlihat serius tapi tegangnya tak bisa disembunyikan.

"Soal mau nikah lagi? Kalau itu lagi Mas, percuma. Saya sudah bilang tidak yah tidak. Prinsipku jelas, tidak mau dimadu," Mba Tati langsung tancap gas diawal pembicaraan.

Ternyata memang Mas Imam sudah kali keberapa meminta izin kepada istrinya untuk nikah lagi. Sebelas tahun menikah mereka tak dikaruniai anak. Hal ini yang menjadi alasan kuat Imam meminta izin istrinya menikah lagi.

"Kamu harus mengerti Ti, saya juga butuh keturunan sebagai penerus," Imam coba melembutkan hati Tati dengan menurunkan suaranya.

"Tidak Mas, bagaimana kamu harus berfikir tega seperti itu. Kita memulai semuanya dari tidak ada menjadi ada. Ingat Mas, keadaan kita diawal menikah tidak seperti ini. Kamu hanya karyawan biasa dulunya. Tapi karena aku dan keluargaku juga kamu bisa promosi dan punya jabatan bagus di kantor," Tati kembali menaikkan tensi pembicaraan.

Mas Imam yang tidak terima mendengar tentang perjalanan karirnya di hubungkan dengan bantuan dari keluarga Mba Tati langsung naik pitam.

"Kita bisa sampai sekarang ini karena kerja kerasku dan juga suport dari kamu sebagai istriku. Tidak usah menghubung-hubungkan dengan keluarga kamu," Mas Imam berdiri dari tempat duduknya lalu keluar dan masuk ke mobil.

Tati yang membaca gelagat suaminya yang memang tidak suka dengan keluarganya karena dulu sempat ditolak saat melamar karena dianggap miskin berusaha mendekati dan menahan suaminya.

Tapi Imam sudah terlampau emosi nampaknya. Mungkin karena permohonannya yang ditolak untuk kesekian kalinya. Atau juga karena kali ini Tati yang salah bicara menyinggung soal campur tangan keluarganya hingga keadaan mereka bisa seperti sekarang.

Malam itu Tati sendiri di rumah dan Imam pergi entah kemana.

***

Beberapa hari setelah pertengkaran mereka terjadi, Imam kembali ke rumah dengan ekspresi yang datar pada Tati. Begitu juga Tati yang sedikit depresi karena selama mereka menikah baru kali itu Mas Imam pergi dari rumah saat mereka bertengkar. Biasanya cek cok yang terjadi tak sampai membuat mereka seperti itu.

Tati tahu sekali bahwa Mas Imam beberapa waktu terakhir punya kenalan baik seorang perempuan bernama Novi. Dia anak seorang pemilik perusahaan mitra bisnis Mas Imam.

Imam juga kukuh dengan niatnya menikahi Novi karena alasan pernikahannya dengan Tati belum dikaruniai anak. Imam merasa bahwa dia pantas mendapatkan izin. Tapi dia juga tidak mau menceraikan Tati yang memang telah menemani perjalanan hidupnya sepuluh tahun lebih.

Begitu rumitnya sampai Imam dan Tati seperti terjebak dalam suasana yang tak menentu. Imam yang terlihat sudah matang dengan rencananya untuk menikahi Novi tetapi terhalang izin dari istrinya Tati. Begitu juga Tati yang kukuh tidak mau memberi izin karena merasa dikhianati sebab dialah selama ini yang menemani perjuangan hidup Imam.

***

Pagi itu Tati berdua dengan Bu Tri tukang bersih rumah mereka. Tati yang berada di dapur tiba-tiba mengeluh pusing kepada Bu Tri. Belum lama mengeluh tiba-tiba Tati terjatuh pingsan. Bu Tri yang panik langsung keluar mencari tetangga untuk dimintai tolong. Mereka membawa Tati ke rumah sakit untuk dirawat.

Bu Tri berusaha menghubungi Imam namun tidak juga bisa. Kata Tati, suaminya memang beberapa hari keluar kota untuk perjalanan bisnisnya.

"Jadi saya kenapa Dok," Tati bertanya setelah siuman pada dokter yang menanganinya.

"Ibu mengidap kanker rahim," ucap dokter dengan nada pelan tak ingin Tati kaget dan panik.

"Saya bisa sembuh kan Dok?" tanyaTati mencoba menenangkan diri.

"Bisa, semua penyakit pasti ada obatnya. Tapi Ibu harus menjalani kemo. Kalau Ibu kuat secepatnya kita jadwal untuk kemo pertama.

Dokter pun keluar dari kamar perawatan. Sendiri Tati terlentang di atas ranjang itu tanpa suaminya. Pikirannya mulai berkecamuk, tentang penyakitnya yang pasti tidak akan mungkin memberi keturunan pada Mas Imam. Tak terasa air matanya jatuh membasahi bantalnya.

Dia tidak lagi peduli resiko penyakit yang dideritanya. Selama ini dia berusaha dibelakang Mas Imam untuk menjalani segala macam pengobatan agar dia bisa hamil, tapi hasilnya selalu nihil. Ternyata memang ada masalah dalam rahimnya.

***

Mas Imam yang kembali setelah keluar kota mendapati istrinya yang berubah dalam menyambutnya di rumah. Tati terlihat seperti tak lagi mempermasalahkan niat suaminya menikah. Tati lebih sering mengajak Mas Imam untuk ngobrol seputar kegiatan kantor. Padahal setelah pertengkaran beberapa bulan lalu mereka seperti main kucing-kucingan di rumah. Dingin dan hampa rasanya berada dalam rumah dengan suasana seperti itu. Tapi kali ini berbeda, Mba Tati lebih hangat.

Mas Imam mulai percaya diri lagi dengan niatnya menikah lagi. Tetapi sebenarnya Mba Tati menyembunyikan hal besar. Dia tidak mau suaminya tahu kalau dia mengidap penyakit kronis. Dan kali ini telah dua kali Mba Tati menjalani kemo. Mas Imam pun tidak tahu akan hal ini.

Saking sibuknya menjalankan pekerjaannya, Mas Imam tidak sadar kalau rambut istrinya telah rontok dan sekarang plontos. Di rumah memang Tati tidak pernah melepas jilbabnya.

***

"Mas, Novi apa kabarnya?" Tati bertanya kepada Imam

Imam yang kaget dengan pertanyaan itu seakan tak percaya. Inikah sinyal bahwa Tati telah merestuinya? Begitu hal pertama yang terlintas dibenaknya.

"Dia baik, kemarin sempat ketemu di kantor ayahnya," Mas Imam mencoba menjawab dengan hati-hati.

"Mas Imam masih punya niat menikah lagi? Saya ikhlas Mas, saya kasi izin kalau Mas Imam mau nikah sama Novi," ucap Tati sambil tersenyum kepada suaminya. Pipinya terlihat semakin tirus karena pengaruh kemoterapi. Matanya makin masuk ke dalam dan bibirnya pucat. Tapi semua itu seakan luput dari perhatian Mas Imam.

Mas Imam berdiri menghampiri Mba Tati. Dipeluknya tubuh istrinya itu yang semakin ramping. Diciumi keningnya dan berbisik pada istrinya.

"Terima kasih sayang. Saya akan berusaha adil. Niatku menikahi Novi juga karena ibadah. Jika hanya sekedar syahwat, bisa saja saya nikah diam-diam dibelakangmu,"

Pecah tangis Tati dipelukan suaminya. Mas Imam yang mendengar tangis istrinya juga ikut larut dan meneteskan air mata. Tapi Imam tidak tahu bahwa tangis istrinya itu juga karena sedih penyakit yang dideritanya itu.

Andai Imam tahu bahwa berat badan istrinya itu tak lagi sama dengan yang dulu. Andai Imam jeli melihat raut wajah Tati yang pucat. Dan andai Imam sadar bahwa jilbab yang dikenakan istrinya itu terlihat sedikit longgar karena tidak ada lagi rambut panjang istrinya yang dulu biasa diikatnya.

***

Hari itu menjelang lima hari lagi pernikahan Mas Imam dan Novi akan digelar. Saat yang sama Tati harus berjibaku dengan penyakitnya. Tati yang dijadwalkan mengikuti kemo ke tiganya mendadak kritis. Terpaksa harus dilarikan ke Rumah Sakit.

Mas Imam yang sedang rapat di kantor dan sesekali mengecek persiapan pernikahannya mendapat kabar jika istrinya sedang dalam perjalanan ke Rumah Sakit. Segera dia menyusul istrinya kesana.

Sesampainya di kamar perawatan Imam seperti tidak percaya. Didapatinya seorang perempuan yang begitu mirip istrinya. Tapi yang dihadapannya ini terlihat kurus, kepalanya plontos dan begitu pucat.

Tati yang memang sedang di kamar mandi ingin mengambil wudhu hendak sholat dhuha melepas jilbabnya sesaat sebelum jatuh pingsan dan dibawa ke RS oleh Bu Tri.

Imam mendekati istrinya yang sedang terbaring kritis. Matanya mulai berkaca-kaca. Dan, tangisnya pecah saat mendekap tubuh istrinya. Dia baru sadar bahwa istrinya selama ini sedang sakit. Tangisnya semakin jadi saat tahu bahwa penyakitnya sengaja dia sembunyikan agar Imam tak terbebani.

"Sayang, kamu kenapa tidak pernah cerita? Kenapa sayang!" Imam masih saja menangis sambil memeluk istrinya.

"Mas, apa Mas Imam masih sayang sama Tati?" Tati bertanya dengan suara pelan dan terbata-bata.

"Mas sayang kamu istriku. Kenapa kamu bertanya begitu,"

"Nikahi Novi Mas" ucap Tati

Belum sempat Imam menjawab permintaan istrinya. Alat di layar ruang perawatan berbunyi. Denyut nadi Tati semakin menurun. Mas Imam panik dan berteriak memanggil dokter.

Dokter dan perawat pun berlarian menghampiri mereka. Tapi Tati seolah menolak, dia hanya ingin berdua dengan suaminya.

"Bimbing aku Mas," Tati meminta pada Imam untuk dibimbing mengucap kalimat tauhid.

Imam yang seakan tidak percaya dengan apa yang dia hadapi sekarang masih saja menangis melihat wajah istrinya.

"Mas," pinta Tati sekali lagi dengan nafas yang makin tersengal.

"Iya sayang, iya," Imam pun membimbing istrinya mengucapkan syahadat. Tiga kali Tati mengikuti ucapan suaminya lalu kemudian menutup matanya untuk selama-lamanya.

Imam seperti orang gila diruangan itu. Dipukuli dirinya sekuat mungkin. Menangis dia sejadi-jadinya. Begitu menyesal dengan apa yang baru saja terjadi. Seperti tidak percaya, Tati pergi untuk selama-lamanya.

Dia juga menyesali apa yang sudah berkali-kali dia mohonkan kepada istrinya namun ditolak tapi dia tetap memaksakan. Yang paling dia sesali adalah dia tidak sempat merawat Tati yang ternyata selama ini pura-pura tegar di hadapannya padahal dia sedang sekarat dengan penyakitnya.

#### TAMAT ####

Thursday, March 5, 2020

1:09 AM - No comments

Hasil SKD di Umumkan Akhir Maret 2020


Seleksi Kompetensi Dasar (SKD)  dalam penerimaan CPNS tahun 2019 telah berangsur rampung dilaksanakan di semua daerah dan instansi yang menerima formasi CPNS. Lalu kapan selanjutnya Seleksi Kemampuan Bidang (SKB) akan dilaksanakan? Tentu akan menunggu terlebih dahulu pengumuman hasil SKD. Siapa-siapa saja yang akan melaju ke seleksi berikutnya akan diketahui saat pengumuman SKD yang dilaksanakan 22-23 Maret 2020. Berikut rilis pers yang ditayangkan oleh Humas BKN dalam bkn.go.id.

Jakarta-Humas BKN, Dengan hampir berakhirnya pelaksanaan Seleksi Kompetensi Dasar (SKD) Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) formasi tahun 2019 dan persiapan pengumuman hasil SKD oleh instansi serta dalam rangka persiapan pelaksanaan Seleksi Kompetensi Bidang (SKB), Badan Kepegawaian Negara (BKN) gelar rekonsiliasi dan validasi data hasil SKD CPNS di hotel Bidakara Jakarta pada Rabu (04/03/2020). Kegiatan ini akan berlangsung hingga Jumat (6/03/2020) mendatang.
Adapun data yang divalidasi oleh BKN selaku pelaksana teknis seleksi CPNS meliputi jumlah peserta berdasarkan Berita Acara (BA) kehadiran, kesesuaian formasi SSCN dengan penetapan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN RB), kesesuaian ambang batas, kesesuaian nilai P1/TL formasi tahun 2018, BA penyelenggaraan serta panduan SKB. Rekonsiliasi data tahap I dilaksanakan untuk 261 dari 521 instansi pusat dan daerah. Sedangkan 260 instansi lainnya akan dilakukan rekonsiliasi datanya pada tahap II tanggal 11-13 Maret mendatang. Hari pertama rekonsiliasi dan validasi data dilakukan untuk 91 instansi pusat dan daerah.
Direktur Pengadaan dan Kepangkatan BKN selaku Koordinator Tim Finalisasi Hasil Seleksi, Pemberkasan, dan Penetapan NIP, Ibtri Rejeki mengatakan bahwa proses rekonsiliasi data dilakukan melalui 4 level proses verifikasi dan validasi (verval). “Level 4 yaitu tim pengolahan mengumpulkan data hasil SKD dari seluruh titik lokasi (tilok) dan akan disinkronisasikan saat rekonsiliasi data berlangsung. Kemudian setelah itu diverifikasi dan divalidasi kesesuaian data dari instansi dengan data yang ada di Sistem Informasi Manajemen Fasilitasi Penyelenggaraan Seleksi (Simflek). Pada tahap ini instansi mencocokkan kesesuaian hasil SKD di lapangan. Selanjutnya pada level 3 akan diverifikasi ulang oleh Kordinator Tim Finalisasi Hasil Seleksi, Pemberkasan, dan Penetapan NIP sebelum ke level 2 yaitu persetujuan Deputi Bidang Mutasi. Terakhir, pada level I yakni Kepala BKN mengesahkan dengan digital signature dan hasil rekonsiliasi diserahkan kepada instansi secara online,” jelas Ibtri.
Lebih lanjut Ibtri menjelaskan setelah tahap rekonsiliasi selesai, seluruh instansi pusat dan daerah akan mengumumkan hasil SKD pada tanggal 22-23 Maret 2020 secara serentak. “Tentunya peserta yang lolos ke tahap SKB yaitu mereka yang nilainya termasuk 3x formasi setelah perankingan,” ujarnya. Hal ini, lanjut Ibtri, disesuaikan dengan Permenpan Nomor 23 Tahun 2019 tentang Kriteria Penetapan Kebutuhan Pegawai Negeri Sipil dan Pelaksanaan Seleksi CPNS Tahun 2019 dan Permenpan Nomor 24 Tahun 2019 tentang Nilai Ambang Batas Seleksi Kompetensi Dasar Pengadaan CPNS Tahun 2019.

Kepala Pusat Pengembangan Sistem Rekrutmen Heri Susilowati menyatakan bahwa pelaksanaan SKD akan berlangsung hingga 10 Maret mendatang. “Secara nasional hasil akan dirapatkan oleh Panselnas. Target kita dengan diadakannya rekonsiliasi ini adalah zero mistake,”ungkapnya. Panitia juga menyediakan fasilitas crisis center untuk membantu penyelesaian masalah, pertanyaan maupun komplain dari instansi yg terdiri dari BKN, Kementerian PAN RB dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). BPKP selaku Tim Quality Assurance Panselnas mendampingi BKN selama masa rekonsiliasi dan validasi data hasil SKD ini serta memastikan pelaksanaan SKD berjalan sesuai ketentuan.
Salah satu perwakilan instansi yang hadir, Sri Putri Pratiwi dari Perwakilan Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Pemerintah Kabupaten Gunung Mas, Provinsi Kalimantan Tengah, berharap rekonsiliasi data ini terus diadakan setiap tahun untuk mendapatkan data yang valid dan menghindari perbedaan-perbedaan data yang dimiliki instansi daerah maupun instansi pusat. “Dengan sistem seleksi yang transparan ini diharapkan hasil yang ditetapkan nanti tidak akan merugikan pihak manapun,” ujarnya saat diwawancarai oleh tim humas BKN. rat