Bulan April identik dengan Hari Kartini. Asal mula peringatan hari
Kartini adalah Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 108 Tahun 1964
tertanggal 2 Mei 1964. Sejak saat itu, setiap tanggal 21April, bangsa Indonesia
memperingatinya sebagai hari Kartini.
Pramoedya Ananta Toer dalam pengantarnya
di buku Panggil Aku
Kartini Saja mengungkapkan bahwa: “Kartini
adalah orang pertama dalam sejarah bangsa Indonesia yang menutup zaman tengah,
zaman feodalisme pribumi yang “sakitan” menurut istilah Bung Karno.”
Sementara Dr. Ny. Hurustiati Subandrio
dalam kata sambutannya di buku karya Pram tersebut menuliskan bahwa, walaupun
berasal dari kalangan bangsawan, Kartini memiliki jiwa demokratis yang
mendasari segala pandangannya terhadap soal-soal sosial-ekonomi, maupun politis
serta senantiasa mencari pemecahan atas nasib rakyat Indonesia. “Disitulah arti
tulisan-tulisan Kartini, yang menjadikannya pahlawan nasional, disamping
pramuka kemajuan wanita Indonesia,” jelasnya lebih lanjut.
Membaca dan memahami pikiran Kartini tidak
bisa dilepaskan pada situasi dimana Kartini hidup, Tahun 1870 –sembilan tahun
dari masa kelahiran Kartini—diberlakukan UU Agraria dimana orang-orang Eropa
yang punya modal bisa menyewa tanah di Hindia Belanda. Bisa dibilang bahwa
situasi saat itu adalah masa peralihan dari kapitalisme perkebunan ke
kapitalisme uang. Untuk kepentingan pembukaan lahan perkebunan dan penumpukan
pundi-pundi kaum pemodal di Belanda, maka di berlakukan cultuurstelsel atau
politik tanam paksa. Di mana kaum pribumi banyak yang dipekerjakan di
lahan-lahan perkebunan tanpa upah yang memadai dan beban kerja yang sangat
tidak manusiawi. Bahkan diperlakukan layaknya budak. Sementara pribumi yang
punya tanah garapan dipaksa menanam tanaman yang dibutuhkan oleh orang Eropa
dan hasilnya diserahkan kepada Belanda tanpa imbalan yang setimpal atau sangat
minim untuk kebutuhan kaum pribumi sendiri. Hal ini menimbulkan bencana
kelaparan, kemiskinan dan kematian yang massif bagi kaum pribumi.
Hal ini menimbulkan kritik pedas di
Netherland. Muncullah pelopor politik Ethik. Sementara di Hindia Belanda
Multatuli atau Edward Dowwes Dekker juga mengobarkan kritik terhadap pemerintah
Hindia Belanda. Karya Multatuli, Max Havelar, yang merupakan pembelaannya
terhadap nasib kaum pribumi dari perbudakaan tanam paksa, sangat mempengaruhi
pandangan dan pemikiran Kartini. Nasionalisme dan keberpihakan Kartini atas
nasib pribumi banyak mendapat pengaruh dari pemikiran Multatuli.
Kartini jeli melihat bahwa ada unsur-unsur
maju dalam kebudayaan kaum pribumi yang menonjol dan perlu dikenalkan kepada
dunia luar, terutama Belanda dan Eropa. Sehingga, menurut Kartinidalam “Panggil
Aku Kartini Saja”, penting ada pendidikan watak dan karakter melalui seni dan
budaya.
Di sisi lain, Kartini melihat bahwa kaum
pribumi begitu menderita ketika berhadapan dengan sistem tanam paksa, dan harga
diri mereka tak lebih dari budak di lahan-lahan perkebunan Belanda. Sementara
di Belanda sana sedang berkembang dengan pesat ilmu pengetahuan, ide-ide
kesetaraan dan penghormatan atas hak-hak asasi manusia. Sehingga, menurut
pandangan Kartini, penting bagi kaum pribumi mengenyam ilmu pengetahuan Eropa
agar mereka dipandang sederajat sebagai manusia.
Selain kelompok yang ingin mempertahankan
kapitalisme dan ingin memeras habis tanah jajahan, dan kelompok liberal yang
menuntut usaha dan modal swasta, terdapat pula kelompok sosialis, yakni
kelompok yang mengutuk sikap Belanda dan menuntut Belanda membayar rasa
terimakasihnya kepada rakyat pribumi dengan cara menjadikan mereka pandai dan
membangun bidang-bidang yang memberi kesejahteraan. Kelompok sosialis yang berkembang
di Belanda dan beberapa yang memperjuangkan pemikiran-pemikirannya di bumi
Hindia Belanda inilah yang banyak mempengaruhi cakrawala Kartini tentang
emansipasi dan pendidikan bagi kaum pribumi.
Kewajiban Perempuan dalam Perjuangan
kemerdekaan Indonesia
Soekarno dalam bukunya Sarinah mengatakan;
“bahwa soal wanita adalah soal masyarakat. Sayang sekali masalah wanita itu
belum pernah dipelajari sungguh-sungguh oleh pergerakan kita. Kita tidak dapat
menyusun negara dan menyusun masyarakat jika kita tidak mengerti soal wanita.”
Demikian penting soal wanita ini menjadi
bahan bagi penyusunan masyarakat dan negara, sehingga pemahaman atas persoalan
perempuan menjadi salah satu pijakan dalam membangun gerakan perempuan.
Akar persoalan perempuan dapat kita tilik
dari pernyataan Ruth Indiah Rahayu sebagai berikut ;
“Saya melihat persoalan perempuan di zaman
Kartini dengan masakini, selama berkaitan dengan seksnya, tidak berubah.
Pemaksaan terhadap perempuan menjadi budak seks di tengah perkebunan dahulu,
kini terulang di tengah industri pariwisata. Pandangan feodal semasa Kartini
malah dibangkitkan –neo feodalisme.”
Selain menghendaki politik balas budi
kepada masyarakat jajahan, kelompok sosialis juga peduli dengan persoalan
perempuan. Karena itu, feminisme di Belanda bisa bertemu pandangan dengan
mereka. Salah satu sahabat Kartini penganut feminis sosialis adalah Estella
Zeehandelar. Terbukanya mata Kartini terhadap persoalan perempuan dan usaha
membebaskan penindasan diperoleh dari diskusi-diskusinya dengan Estella. Selain
itu beberapa buku seperti Hilda van
Suylenburg karya Nyonya Goekoop, Moderne
Maagden karya Marcel Prevost serta DeVrouw en
Sosialisme karya Augusta Babel, yang
memperkaya pandangan Kartini tentang pentingnya emansipasi perempuan.
Sejak era Marx dan Engels, sosialisme
sudah berpihak pada pembebasan kaum perempuan. Hal inilah yang membuat
sosialisme sejalan dengan perjuangan kaum perempuan yang lazim disebut dengan
istilah feminisme. Walaupun pijakan feminisme dan sosialisme berbeda.
Seperti kita ketahui bahwa feminisme,
terutama feminisme liberal, melihat akar persoalan penindasan terhadap kaum
perempuan adalah kodrat laki-laki. Hal ini tercermin dalam sistem
budaya yang patriarkal, di mana dominasi laki-laki terhadap perempuan memerosokkan
peran perempuan hanya pada ranah domestik. Sementara ranah publik dikuasai
sepenuhnya oleh dominasi kaum laki-laki.
Sementara bagi kaum Sosialis, pendekatan
dan visi terhadap pembebasan perempuan berpijak pada garis klas. Dalam
pandangan Sosialis, penindasan laki-laki terhadap kaum perempuan muncul dari
kepemilikan pribadi dan masyarakat klas. Studi-studi mengenai sejarah peradaban
manusia semenjak zaman batu memperlihatkan bahwa dalam masyarakat yang tidak
mengenal kepemilikan pribadi dan perbedaan klas kaum perempuan dan laki-laki
sama-sama terlibat dalam proses produksi dengan kedudukan yang sejajar. Dalam
masyarakat-masyarakat seperti itu, perempuan memiliki kebebasan dan kesetaraan
dengan laki-laki. Munculnya kepemilikan pribadi atas alat produksi dan masyarakat
klas telah menyingkirkan kaum perempuan dari proses produksi dan melemparkannya
kepada pekerjaan-pekerjaan domestik (kerumahtanggaan). Dengan jalan itu,
kebebasan perempuan terenggut, dan kesetaraannya dengan laki-laki lenyap. Oleh
karena itu, bagi kaum Sosialis, pembebasan perempuan tidak dapat dipisahkan
dari perjuangan untuk mengakhiri kepemilikan pribadi atas alat produksi dan
masyarakat klas. Ya, pembebasan perempuan tidak dapat dipisahkan dari
perjuangan untuk mewujudkan masyarakat Sosialis.
Dalam
segala keterbatasan Kartini menceritakan kepada sahabatnya bagaimana
keinginannya merubah keadaan dan kondisi kaum pribumi di masanya sebagai
berikut :
“Kami beriktiar supaya kami teguh sungguh,
sehingga kami sanggup diri sendiri. Menolong diri sendiri. Menolong diri
sendiri itu kerap kali lebih sukar dari pada menolong orang lain. Dan siapa
yang dapat menolong dirinya sendiri, akan dapat menolong orang lain dengan
lebih sempurna pula.” (Cuplikan surat Kartini kepada
Nyonya Abendanon, 12 Desember 1902)
Adapun
Sukarno, dalam bukunya Sarinah menjelaskan: “nasib kaum wanita Indonesia
tergantung dari tangan mereka sendiri. Kaum laki-laki harus terus mengingatkan
dan memberikan keyakinan kepada kaum wanita Indonesia tentang pentingnya mereka
ikut dalam gerak perjuangan. Perempuan Indonesia harus bahu membahu dengan
laki-laki mewujudnya cita-cita bangsa yang sejahtera, adil dan makmur, zonder
exploitation de lhomme par lhomme.
Kita sadar bahwa kaum perempuan Indonesia
masih merupakan bagian dari masyarakat marginal. Kapitalisme berkepentingan
melanggengkan struktur dan budaya yang patriarkhi untuk terus melanggengkan
kekuasaannya. Sehingga ini menjadi pekerjaan rumah kita bersama. Disatu sisi
gerakan perempuan harus mengembalikan kepercayaan diri dan kemampuan pada diri
kaum perempuan untuk bisa menolong dirinya sendiri. Sehingga pada gilirannya
kelak mereka dapat berdiri tegak sebagai pribadi yang merdeka. Di pihak lain,
gerakan perempuan sadar bahwa mereka punya peran penting dalam perjuangan yang
lebih luas. Dalam proses demokrasi yang sedang berkembang terdapat ungkapan
sebagai berikut: no
democracy without women (tak ada
demokrasi tanpa keterlibatan kaum perempuan).
Oleh: Siti Rubaidah