Sunday, January 28, 2018

2:58 AM - No comments

Pilkada; Saat Akronim "Menyandera" Makna Bahasa


                 Oleh: Andang Masnur, S.Pd.,M.Pd

Salah satu sistem isyarat yang paling penting bagi manusia adalah bahasa. Bahasa merupakan kekuatan (language is power) dan sangat berperan dalam mencapai tujuan nasional maupun internasional suatu bangsa. Penggunaan bahasa secara superintensif, termasuk didalamnya penyalahgunaan (abuse) bahasa dengan berbagai aspeknya begitu menonjol dalam dunia politik (Zahri Nasution, 2007).

Momentum pemilihan Kepala Daerah (pemilihan gubernur dan bupati) menjadi ajang tarung dari beberapa aspek. Kreatifitas dari berbagai macam pendekatan dilakukan oleh masing-masing tim pasangan bakal calon kepala daerah. Tidak terkecuali slogan atau akronim yang dibuat untuk lebih mendekatkan bakal calon dengan pemilih.

Akronim yang dibuat seringkali menggunakan kata-kata yang mengidentikkan visi bagi calon. Sehingga tujuan sebagai ajang pengenalan ke bassis massa itu lebih tertolong dengan menggunakan satu atau dua kata sebagai akronim atau slogan.

Disadari atau tidak "pencaplokkan" kata sebagai akronim atau slogan tersebut "menyandera" makna bahasa secara sepihak. Sebuah kata yang bermakna luas dalam dialog sehari-hari bisa saja menjadi sempit pemaknaannya bagi beberapa orang.

Dalam konteks kebahasaan seharusnya tidak ada yang menjadi soal saat pengguna bahasa (lisan ataupun tulis) menggunakan kata yang kebetulan dijadikan akronim atau slogan salah satu kandidat. Apalagi bila kata yang digunakan secara semantik telah memenuhi kaidahnya dalam memberikan makna yang sesungguhnya.

Kehati-hatian sangat jelas terlihat saat dialog tulis pada media sosial seperti Facebook dan akun lainnya (konteks bahasa tulis). Seseorang seringkali tanpa sengaja menuliskan kata yang menjadi akronim pasangan kandidat kepala daerah. Oleh sebagian orang kata tersebut sebagai "alamat" dukungan. Sehingga mengakibatkan lahirnya kesimpulan sepihak yang belum tentu oleh si penulis bermaksud demikian.

Padahal bila kita tinjau dari teori, bahasa jika ditinjau dari fungsi khusus berfungsi sebagai fatik yang bertujuan sebagai alat untuk sekedar saling menyapa mengeratkan silaturahmi diantara kita. Toh juga, kata-kata yang digunakan sebagai akronim tersebut telah ada jauh sebelum moment Pilkada ada.

Hanya saja momentum tersebut menjadikan kata-kata yang dimaksud bisa menjadi luas atau sempit pemaknaannya. Belum lagi kita melihat aktifitas "perang status" yang dilakukan di media sosial turut mempengaruhi pemaknaan dari kata-kata akronim atau slogan di Pilkada.

Pada akhirnya kita mengharapkan agar tidak ada kata dalam bahasa (tulis maupun lisan) yang tersandera oleh akronim pilkada. Sebab pada teori dasar bahasa sifat bahasa adalah arbitrer (mana suka). Kita tidak menginginkan pemaknaan bahasa yang kaya akhirnya terbatasi karena momentum politik sementara.

Sumber: http://www.kalosaranews.com/2018/01/pilkada-saat-akronim-menyandera-makna-bahasa/

https://sultrakini.com/berita/pilkada-saat-akronim-menyandera-makna-bahasa

Thursday, January 11, 2018

11:56 PM - No comments

Politik Pada Persfektif Pendidik

                    Oleh: Andang Masnur, S.Pd.,M.Pd

Sebagai pengguna aktif media sosial, akhir-akhir ini saya miris melihat beberapa postingan yang menurut saya berlebihan. Aksi klaim, jual program, meraih simpatik tidaklah perlu dengan hujatan atau statmen yang tak beradab.

Bagi saya demokrasi janganlah dianggap sebagai perang. Karena pada hakikatnya perang tidak menghasilkan kebaikan. Menang jadi arang, kalah jadi abu. Kira-kira demikian pepatah menggambarkannya.

Pada aspek akademik atau dunia pendidikan, celoteh tak beradab dan kata-kata yang tak sopan sangat kita sayangkan. Ribuan pasang mata membaca, ribuan telinga menyimak. Secara tidak sadar kita sedang dipertontonkan degradasi mental karena bahasa yang tak lagi santun.

Dalam ranah teori politik klasik, Machiavelli menyatakan bahwa pendidikan politik perlu diberikan kepada orang-orang “yang belum tahu”. Pendidikan politik tersebut dimaknai bukan sebagai pendidikan politik yang negatif tentang pembenci tiran, melainkan pendidikan positif, yaitu diberikan pada orang-orang yang mengakui pentingnya pendidikan tersebut, sekalipun pendidikan tersebut tersebut merupakan alat tirani yang mengejar suatu keuntungan tertentu (Gramsci, 2001: 17)

Baiknya, sebagai corong bagi setiap kandidat mampu merangkul dengan ramah. Bukan dengan kata-kata marah. Mengenalkan dengan bijak, bukan untuk menginjak.

Mereka yang terdidik kita harapkan mampu memberikan makna kepada masyarakat awam, bahwa demokrasi itu hanya sebagai media dalam menentukan pemimpin. Siapapun dia yang lahir dari proses tsb haruslah kita dukung. Sehingga perang urat syaraf yang bisa memicu konflik secara fisik itu dapat terhindarkan.

Rusadi Kantaprawira (1977:54) menyatakan bahwa pendidikan merupakan salah satu fungsi dari struktur politik di dalam masyarakat. Dengan “menyamaratakan” pendidikan politik dengan sosialisasi politik, Kantaprawira mendefinisikan pendidikan politik sebagai upaya untuk meningkatkan pengetahun politik rakyat, dan akhirnya rakyat dapat berpartisipasi secara maksimal dalam sistem politik tersebut.

Sekali lagi, mari berpolitik dengan santun. Sebagai bagian dari masyarakat pendidik, kita sangat menginginkan proses demokrasi ini menjadi contoh terbaik dari pendidikan politik di negeri ini.