Monday, July 27, 2020

5:14 AM - 1 comment

Dinasti dalam Praktik Politik Kekinian


Kontestasi dalam gelaran Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 kini telah menunjukkan suhu yang mulai menghangat. Percaturan siapa yang bakal maju menjadi calon Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota dan Gubernur/Wakil Gubernur mulai terlihat. Ada 270 daerah yang bakal menggelar Pilkada 9 Desember 2020 nanti. Salah satu yang menjadi diskusi di media-media adalah dibeberapa daerah hadirnya bakal calon yang berasal dari keluarga pejabat daerah maupun pejabat negara yang sebagian kalangan menyebut dengan istilah dinasti politik. 

Namun apakah dengan majunya keluarga dari pejabat tersebut misal anak, istri, adik atau saudara tersebut melanggar atau dilarang dalam sistem demokrasi kita?

Dinasti Politik dalam Istilah

Pada konteks bahasa dinasti kita kenal sebagai sebuah istilah dalam praktik politik zaman kerajaan. Kekuasaan akan turun temurun kepada keluarga ahli waris yang berhak melanjutkan tahta kekuasaan jika yang memangku jabatan tersebut telah mangkat atau tidak dapat lagi melanjutkan kekuasaannya. 

"Dinasti politik dapat diartikan sebagai upaya mempertahankan kekuasaan agar tidak jatuh kepada orang lain melainkan masih dalam lingkungan keluarga terdekat."

Praktik politik seperti ini telah ada sejak zaman kerajaan kuno baik di Indonesia itu sendiri maupun kerajaan lainnya di dunia. Seolah mengadopsi apa yang telah terjadi selama ini, maka dinasti politik juga berintegrasi dalam sistem perpolitikan kekinian. Jika cara kuno atau tradisional peralihan kekuasaan adalah dengan sistem penujukan kepada sang ahli waris kekuasaan maka dalam konteks kekinian peralihan kekuasaan dipraktikkan secara prosedural.

Dinasti Politik dalam Regulasi

Tren politik dinasti ini bukan hal yang baru lagi, sehingga dibeberapa daerah kita jumpai adanya hubungan kekerabatan yang begitu dekat antara pejabat kepala daerah sebelumnya dengan yang sedang menjalankan pemerintahan hari ini. 

Puncaknya adalah dengan disusunnya UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada. Pada Pasal 7 huruf r UU disebutkan “warga negara Indonesia yang dapat menjadi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Wali Kota dan Calon Wakil Wali Kota adalah memenuhi persyaratan tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana”

Pada penjelasan UU, konflik kepentingan dengan petahana yang dimaksudkan adalah tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu kecuali telah melewati jeda 1 kali masa jabatan. 

Tetapi belum lama diundangkan Adnan Purichta Ichsan politisi asal Sulsel menggugat pasal ini ke MK. Hasilnya kemudian Adnan memenangkan untuk kemudian pasal ini dihapuskan dalam UU Pilkada tersebut dan membolehkan keluarga yang dimaksud dalam pasal tersebut untuk mencalonkan diri. Sampai saat ini pada UU Nomor 10 tahun 2016 regulasi yang membatasi hal tersebut tidak lagi kita dapati di dalamnya.

Praktik Politik Kekinian

Tidak hanya di Indonesia, tetapi praktik seperti ini juga dapat kita temui di luar negeri. Contoh Amerika sebagai negara adikuasa yang kita kenal lebih maju dalam segala bidang termasuk dalam hal demokrasi. Di negara tersebut Joseph Curl dalam “Rise of ‘Dynasty’ Quick, far-Reaching” menyebutkan bahwa keluarga Bush sebagai dinasti politik yang paling sukses dalam sejarah Amerika. Keluarga Bush menghasilkan dua presiden yakni presiden ke 41 dan presiden ke 43 AS. Selain menjadi Presiden juga keluarga Bush ada yang menjadi di Texas dan Florida.

Sebagian kalangan berpendapat bahwa dinasti seperti ini mengkhawatirkan bagi perjalanan demokrasi kita. Sebab orientasinya adalah bagaimana mempertahankan kekuasaan tersebut di lingkungan keluarga tertentu. Fasilitas yang melekat secara alamiah pada diri calon yang berasal dari keluarga petahana menjadikannya mampu dengan mudah mengungguli rivalnya pada setiap gelaran pemilihan. Peralihan kekuasaan dengan cara mengikuti kontestasi pemilihan ini yang disebutkan sebagai praktik dinasti dengan cara prosedural. 

"Subsantsinya adalah bagaimana menjadikan pemilihan menjadi ajang “fair” untuk semua orang dan memberikan ruang kepada seluruh masyarakat menggunakan haknya."
 
Jika kembali mengaitkan dengan Pilkada 2020 yang tahapannya sedang dijalankan, dengan UU Nomor 10 tahun 2016 yang dipakai sebagai rujukan maka tidak ada celah untuk menghentikan niat bakal calon yang berasal dari keluarga pejabat atau petahana. Begitu juga jika berbicara pada rancangan masa depan demokrasi kita, pada draf RUU Pemilu yang sedang menjadi pembahasan. Pada  buku ketiga Pasal 182 tentang persyaratan pencalonan tidak terdapat hal yang membatasi keluarga dari petahana untuk maju mencalonkan diri.

Sebenarnya bukan persoalan calon tersebut berasal dari keluarga pejabat atau petahana, amanah UU menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak untuk memilih dan dipilih (menurut ketentuan). Sebab hal tersebut juga menyangkut kedaulatan dan hak politik orang per orang. Tetapi subsantsinya adalah bagaimana menjadikan pemilihan menjadi ajang “fair” untuk semua orang dan memberikan ruang kepada seluruh masyarakat menggunakan haknya. 

Masyarakat dengan pengetahuan politik yang dimilikinya tentu tidak akan bisa didikte atau diintervensi oleh kekuasaan untuk memilih calon tertentu. Pengawasan yang berjalan juga tentu akan melihat dan memastikan bahwa kekuatan kekuasaan tidak untuk memobilisasi dan digunakan untuk menguntungkan calon yang berasal dari keluarga tertentu. Jika semua ini berjalan sebagaimana mestinya tentu tidak ada kekhawatiran yang berlebih terhadap dinasti politik yang sedang ramai dibicarakan.

Harapan besar kita bahwa pendidikan politik menjadi salah satu solusi dalam memberikan pencerahan kepada masyarakat. Hal tersebut dimaksudkan agar masyarakat tidak gaduh melihat jika seseorang yang berasal dari keluarga pejabat maju menggunakan haknya untuk mencalonkan diri. Sebab penentu terpilih dan tidaknya mereka ada ditangan masyarakat sebagai wajib pilih yang akan menyalurkan hak pilihnya di TPS nanti.(*)

Wednesday, July 15, 2020

Coklit dan Ikhtiar Menjaga Kedaulatan Pemilih


Tahapan pemilihan kepala daerah serentak 2020 telah memasuki masa pencocokan dan penelitian data pemilih atau lebih lazim disebut coklit. Sebelumnya KPU telah membentuk petugas pemutakhiran data pemilih atau PPDP di semua daerah yang menggelar Pilkada serentak. 

Merujuk pada Pasal 58 UU Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada yang menyebutkan bahwa DPT Pemilu terakhir menjadi sumber pemutakhiran data pemilihan dengan mempertimbangkan daftar pemilih potensial atau yang sering disebut DP4. Jika melihat dari hal tersebut tentu saja diatas kertas kita akan berpendapat bahwa tantangan pemutakhiran data tidak akan terlalu mengalami kendala sebab Pemilu terakhir kurang lebih baru setahun digelar.

Masih merujuk pada Pasal 58 ayat 3 UU Nomor 10 tahun 2016 maka KPU mengintegrasikan aturan pada PKPU tentang Pilkada dalam kondisi bencana nonalam Covid-19 yang mengatur ketentuan pemutakhiran data dan penyusunan daftar pemilih. Pada pasal 23 ayat 1 menyebutkan, PPDP melakukan coklit dengan mendata pemilih melalui rukun tetangga (RT) atau sebutan lainnya. Kondisi pandemi yang sedang melanda membuat coklit yang dilaksanakan oleh PPDP akan berbeda dengan coklit yang dilaksanakan saat event Pemilu yang lalu. 

Selaku penyelenggara teknis, KPU telah merancang sistem coklit yang dilaksanakan oleh PPDP dengan berkoordinasi awal dengan Rukun Tetangga (RT) atau sebutan lainnya. Hal ini tentu didasari dengan pertimbangan bahwa RT merupakan ujung tombak pelayan masyarakat yang paling mengenali dan memiliki data kependudukan warganya. Akurasi informasi yang dimiliki oleh RT pastinya baik dan selalu update sebab mereka selain berdomisili juga mengetahui keluar masuknya warga di wilayahnya. 

Selanjutnya dalam petunjuk yang diberikan oleh KPU terhadap PPDP dalam melaksanakan tugasnya adalah mereka dibolehkan untuk menemui Pemilih secara langsung. Hanya saja petugas coklit boleh menemui pemilih atau mengunjungi mereka dengan ketentuan syarat memakai alat pelindung diri (APD) dan mematuhi protokol kesehatan. Menjaga jarak, menghindari kontak fisik, mencuci tangan adalah hal wajib yang mesti diperhatikan oleh petugas dalam melakukan tugasnya di lapangan. Hal tersebut dilakukan demi untuk memutus mata rantai penyebaran virus covid-19.
Sehingga dengan demikian tidak ada alasan untuk meragukan akurasi pencocokan data pemilih yang dilakukan oleh PPDP, sebab mereka menemui langsung calon pemilih.

Pada masa pandemi seperti ini memang KPU dituntut untuk selalu melakukan terobosan dalam mengatasi kendala teknis yang disebabkan oleh pandemi ini. Menjamin kualitas pemilu tetap terjaga tidak cukup jika tidak memastikan keselamatan petugas yang menyukseskan tahapan di lapangan. Untuknya mesti banyak gagasan yang diberikan demi suksesnya penyelenggaraan Pilkada serentak ini. Sebagai salah satu contoh KPU menggemakan gerakan klik serentak untuk mengajak pemilih pro aktif mengecek data mereka secara mandiri melalui alamat link lindungihakpilihmu.kpu.go.id.

Sikap pro aktif dari masyarakat akan sangat membantu suksesnya pelaksanaan Pilkada serentak ini. Sebab kedaulatan pemilih dimulai dari terdatanya masyarakat dalam daftar pemilih. Dengan kesadaran untuk mengecek dan memastikan diri terdata dalam daftar pemilih ini akan meminimalisir potensi gugatan kedepannya. Sebab salah satu prinsip terselenggaranya pemilu/pemilihan yang demokratis adalah warga negaranya terdaftar sebagai pemilih tanpa diskriminasi.

Pada prinsipnya memang data pemilih memegang peranan penting bagi keberlanjutan tahapan lainnya dalam setiap menggelar pemilihan. Sebab dari data pemilih ini akan mempengaruhi pengadaan logistik pilkada, pemetaan TPS, pengangkatan badan adhock KPPS, rekapitulasi perhitungan suara dan hal teknis lainnya. Sehingga untuk itulah pendataaan pemilih yang baik menjadi salah satu kunci berhasilnya pelaksanaan pemilihan.

Menjaga Kedaulatan Pemilih di Masa Pandemi

Melaksanakan tahapan pemilihan di masa pandemi ini memang tidaklah mudah. Kepercayaan para petugas dan masyarakat untuk terlindung dari penyebaran virus-19 mesti dijaga. Sehingga kemudian semua komponen baik KPU maupun Bawaslu memastikan pelaksanaan tahapan oleh petugas harus selalu mematuhi protokol kesehatan yang telah ditetapkan pemerintah. Prinsip KPU dalam menjamin kedaulatan pemilih dengan menjamin hak pemilih menjadi hal yang penting. Sebab makna kedaulatan ada di tangan rakyat maka mereka berhak menentukan siapa yang akan menjadi pemimpinnya melalui pemilihan yang demokratis.

Sebagai sarana resmi dalam melahirkan pemimpin, memang seyogyanya Pemilihan yang digelar terjamin keamanannya dalam arti luas. Beberapa pemilu pasca reformasi menunjukkan bahwa pemilihan yang digelar di Indonesia telah menunjukkan perkembangan yang luar biasa baik. Tidak terkecuali mengenai kedaulatan dan rasa aman bagi pemilih dalam menentukan pilihannya. Namun pandemi yang melanda dunia ini memberikan cobaan baru bagi perjalanan demokrasi kita. Bencana nonalam ini merupakan tantangan yang tidak biasa yang dihadapi oleh kita semua. Semangat dalam menyukseskan tahapan harus dibarengi dengan memastikan keselamatan setiap petugas dan juga masyarakat luas. Untuk itu beban menyukseskan pemilihan ini tidak mesti hanya menjadi tanggung jawab oleh para petugas pilkada, tetapi juga semua stake holder dan masyarakat secara umum. 

Paling terakhir kita berharap, melalui pelaksanaan pencocokan dan penelitian/coklit oleh PPDP ini dapat menjamin akurasi data pemilih pilkada yang akan digelar. Kita percayakan tahapan yang berlangsung dari 15 Juli hingga 13 Agustus sebagai ikhtiar dalam menjaga kedaulatan pemilih, serta menjadi kunci untuk suksesnya pemilihan kepala daerah serentak 9 Desember 2020 mendatang. Selamat bertugas sahabat-sahabat PPDP, semoga diberi kesehatan dan keselamatan dalam menjalankan tugas. Amiiinnn... (*)

Catatan : 
*Artikel ini juga terbit di halaman media online kumparan.com dengan judul yang sama
**Penulis adalah Komisioner KPU Kab. Konawe-Sulawesi Tenggara Koordinator Divisi SDM, Parmas dan Sosdiklih